Riset Data
Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Waktu itu tahun 1930-an. Sukarno dipenjara di Sukamiskin karena keberaniannya melawan pemerintahan Hindia Belanda. Penjara yang dikenal angker dan penuh penderitaan itu, justru menjadi tempat penuh jiwa kasmaran bagi Sukarno. Padahal hampir setiap saat ada tahanan yang datang sehat keluar tewas. Banyak diantara tahanan itu disiksa dan stres bunuh diri. Sukarno memang pintar agar dirinya krasan di Sukamiskin. Di ruang sempit dan terisolasi itu, Sukarno masih memainkan perannya dan bisa mengatur para penjaga tahanan.
Sukarno memang cerdik. Caranya Ia meminta uang ke isrinya Inggrit Garnasih sebesar 60 gulden untuk dibagikan kepada para penjaga. Jaman itu uang sudah didapat dan harus bekerja keras agar bisa memiliki 60 gulden. Sebagai istri Sukarno, Inggrit Garnasih banyak akal pula. Untuk memperoleh uang itu, ia menjadi agen sabun, membuat dan menjual rokok linting merek “Ratna Djuami” yang belakangan diketahui nama anak angkatnya. Bahkan pernah menjadi agen penjualan cangkul dan parang. Kegiatan itu tentu tidak meninggalkan pekerjaan utamanya sebagai penjahit dan berjualan bedak kecantikan.
Uang 60 gulden permintaan Sukarno akhirnya terpenuhi, dan untuk mengirim dan diterima langsung ke tangan Sukarno tidak mudah. Inggrit Garnasih menyelundupkan uang tersebut melalui kue yang dikirimnya saat membesuk. Tidak hanya itu, Inggrit Garnasih juga menyelundupkan naskah dan buku dibalik baju untuk bekal pembelaan Bung Karno di pengadilan nanti. Inggrit tak penah mengeluh ke suaminya betapa sulitnya mencari uang itu. juga tidak pernah bercerita perjalanan dari Bandung menuju Sukamiskin yang jaraknya sangat jauh ditempuh dengan berjalan kaki, sambil menuntun anak angkat mereka yang masih kecil Ratna Djuami. Selain harus menghemat ongkos, saat itu sangat jarang angkutan umum dari Bandung ke Sukamiskin yang melintas pada malam hari.
Kehidupan berat harus Inggrit Garnasih jalani justru setelah sidang pengadilan Hindia Belanda. Saat itu Sukarno diputus harus menjauh dari aktifitas gerakan dan dibuang ke pulau Ende Flores. Atas putusan itu, Inggrit Garnasihlah yang memberi semangat agar suaminya putus asa. Tahun 1932, Inggrit Garnasih ikut dalam pembuangan ke Ende dengan apapun resikonya. Ikut pula dalam rombongan itu Ibu Amsi Mertua Bung Karno yang telah sepuh dan sakit-sakitan. Hingga pada akhirnya Ibu Amsi meninggal dunia di tanah buangan Ende. Seperti dalam petikan buku Kuantar Ke Gerbang “Ia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta atau tahta, yang selalu memberi dan tidak meminta kembali, serta satu satunya yang menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan,”.
Inggrit Memberi Tanpa Meminta
Bagi Sukarno, ibu Inggrit Garnasih satu satunya kekasih dan cinta pertamanya. Meskipun selisih mereka 15 tahun lebih tua Inggrit Garnasih, pasangan ini selalu terlihat romantis dimanapun dan situasi apapun. Mereka berkenalan dan berjodoh seperti ditemukan oleh situasi jaman. Saat itu Sukarno berniat In De Kost di rumah Haji Sanusi rekan seperjuangan HOS Cokroaminoto guru sekaligus mertua Sukarno. Saat masuk rumah Haji Sanusi, Sukarno bertemu dan langsung jatuh cinta dengan Ingrit Garnasih istri Haji Sanusi. Sang ibu kost berasal dari Desa Kamasan, Banjaran Bandung ini berkulit kuning dan cantik telah membuat Sukarno kehilangan akal. Inggrit awalnya mengaku rikuh bahwa pujaannya seorang ningrat Jawa dan seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik. Sementara Ia sendiri tidak pandai berbahasa Belanda atau bahasa Melayu dan yang dimengerti hanya Bahasa Sunda. Walaupun demikian mereka tidak langsung menjalin hubungan. Keduanya sadar betul memiliki penghalang masing-masing cinta yang timbul secara spontan itu. kepada penulis bukunya Ramadhan, Inggrit bercerita memutuskan untuk secepatnya mengajak Utari ke Bandung guna mencegah melakukan perbuatan yang tidak pantas.
Ikatan batin antara Sukarno dan ibu kost semakin hari semakin mesra. Sedangkan di lain pihak menurut pengakuan Sukarno dalam buku Soekarno Biografi 1901-1950 tulisan warga Belanda Lambert Giebels menyatakan, antara dirinya dengan Utari yang masih belia itu tidak terjadi hubungan sexual. Sukarno menandaskan perkawinan gantung dengan Utari seperti halnya kakak dan adik.
Permulaan tahun 1923 Sukarno mengantarkan Utari ke Surabaya. Kepada HOS Cokroaminoto yang bijak, Sukarno menjelaskan setelah 2 tahun belum terjalin hubungan suami istri dengan putrinya. Sukarno mengambil putusan talak 3, dan selanjutnya menjadi lelaki yang bebas. Sesudah perceraian itu, Sukarno kembali ke Bandung untuk menemui pujaan hatinya Inggrit. Dengan penuh keberanian dan tekat, Sukarno langsung meminta ke Haji Sanusi hendak meminang istrinya. Si Sanusi yang tak acuh menerima keadaan dengan sportif. Inggrit mengisahan percakapan dengan Haji Sanusi tentang persoalan ini.
“ Marilah kita bicara keadaan kita bertiga,” begitu kata Haji Sanusi
“ Saya tahu bahwa Sukarno ingin mengawinimu”
“Bagaimana pendapatmu?” Inggrit bertanya ” Lalu bagaimana dengan kita berdua?”
Reaksi Sanusi”Kamu akan berbuat apa jika saya lepas?”
“Saya akan kembali ke ibu saya,” begitu jawab Inggrit mengagetkan.
“Jangan-jangan”, Sanusi bergegas menjawab” Bakal susah nanti. Pasti nanti teman-teman dagang saya akan mendatangi kamu di rumah ibumu untuk merayumu. Tidak, lebih baik kau terima saja pinangan Sukarno dan kau jadikan Ia orang penting,”
Cinta itu sangat buta, dan jodoh itu tidak pernah dinyana. Mereka menikah di Bandung dengan upacara yang sederhana pada tanggal 24 Maret 1923. Acara itu dihadiri ibu Inggrit Amsi denan pernikahan secara Islam. dalam akta perkawinan itu ditulis umur sukarno 24 tahun, padahal sebenarnya 22 tahun. Sedangkan Inggrit Garnasih yang sudah berumur 36 tahun dibuat umur yang lebih muda dari suaminya yang lebih muda. Untuk sementara waktu suami istri ini menyewa rumah di Gang Jaksa. Setelah itu mendapatkan pemondokan di gang Godong Delapan.
Inggrit Garnasih diawat di rumah sakit dijaga Ratna Djuami. Foto dok Net
Boleh dikatakan, Inggritlah yang mencukupi kebutuhan dan kekurangan rumah tangga. Sebab Sukarno saat itu konsentrasi menyelesaikan kuliah, dan tentu tidak banyak penghasilan kecuali kiriman dari R Sukemi ayah kandung Sukarno dari Blitar. Inggrit Garnasih pula yang menemani perjalanan sang aktifis pergerakan selama rapat-rapat dan diskusi di pelosok kota dan daerah. Melayani makan dan minum tamunya yang silih berganti dengan menggunakan uang sendiri. Bahkan Ingritlah yang menemani masa pembuangan Bung Karno di Ende dan Bengkulu pada tahun 1939. Hidup di pembuangan memang tidak menyenangkan, namun Inggrit yang beranjak tua masih sabar dan tabah.
Pemakaman Inggrit Garnasih dilakukan secara militer. Foto dok net
Selepas masa pembuangan 9 Juli 1942 mereka tinggal di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang kemudian hari dipakai tempat pembacaan proklamasi. Namun Inggrit tidak pernah mememetik buah kemenangan bersama Sukarno. Sebab pasangan ini berpisah. Inggrit Garnasih dan Bung Karno bercerai dengan alasan tidak memiliki keturunan. Ibu Inggrit Garnasih memilih tinggal di Bandung bersama Ratna Djuami hingga akhir hayatnya di usia 96 tahun. Dengan diantar doa dan puji, Inggrit Garnasih dimakamkan di kuburan umum Babakan Ciparay. Prosesi pemakaman dihadiri Gubernur Jawa Barat Kunaefi. “Ibu Inggrit Garnasih ini orang besar, Kita bukan apa-apanya bila dibandingkann dengannya,” kesan Kunaefi seperti yang dikutip di koran Pikiran Rakyat.
Warga Bandung sangat mengenal ibu Inggrit Garnasih Garnasih. Sebagai tanda penghormatan memasang bendera setengah tiang secara serempak tanpa disuruh. Mereka juga berduyun-duyun ikut mengantarkan jenasah, seorang wanita tua berjiwa besar yang membesarkan pemimpin bangsa di negara besar. (pul)
Author Abad
18.10.22
Jalan Galuhan Bukan Hujunggaluh, Tapi dari Jan v/d Heidenstraat
Berfikir dan berbuat untuk Surabaya lebih berkarakter, lebih baik dan lebih kuat menjadi arah kegiatan sebuah komunitas sejarah dan budaya, Begandring Soerabaia. Kiprah, karya dan karsanya melalui baragam program kegiatan didasarkan pada data, fakta dan temuan sejarah yang dapat dipertanggung jawabkan. Kiranya pantang bagi Begandring Soerabaia dalam berbagi cerita dan kisah tentang Surabaya tanpa ada dasar dan sumber yang kuat.
Buku Hari Jadi Kota Surabaya perlu dikritisi
Ada lima program yang menjadi kanal untuk berbagi informasi tentang sejarah Surabaya kepada publik. Program ini meliputi diskusi publik (begandringan), jelajah sejarah Subtrack (Surabaya Urban Track), publikasi (media dan medsos), pembuatan film (film making) dan pemberdayaan masyarakat (community empowering).
Semua program diatas menjadi platform dalam menyampaikan output dan ekspresi dari hasil penelusuran dan investigasi sejarah dan budaya Surabaya, yang dilakukan tim riset Begandring sebagai bahan dan dasar berkegiatan untuk publik demi jati diri kota Surabaya.
Salah satu dari sekian kegiatan penelusuran dan Investigasi itu adalah mengenai sejarah hari jadi kota Surabaya. Pada edisi blog Begandring 7 Januari 2023, Begandring Soerabaia merilis materi dengan judul : "Masihkah Pacekan dan Delta Jagir Dianggap Sebagai Sumber Sejarah Hari Jadi Kota Surabaya?"
Pada edisi ini, Begandring Soerabaia menurunkan tema Hujunggaluh. Apa itu Hujunggaluh? Adakah kaitan Hujunggaluh dengan Surabaya?
Hujunggaluh
Selama ini nama Hujunggaluh dikaitkan erat dengan Surabaya. Lantas apa itu Hujunggaluh dan apa hubungannya?
Hujunggaluh jelas bukanlah jambatan Hujung Galuh yang melintasi Kalimas di daerah Ngagel. Hujunggaluh jelas tidak ada hubungan dengan Jembatan Hujung Galuh itu.
Prof. Purnawan Basundoro ketika berbicara dengan Wakil Ketua DPRD Surabaya, Reni Astuti, menjelang pemutaran film dokumenter "Soera ing Baja, Gemuruh Revolusi 45" pada 2 Agustus 2023 lalu, menyampaikan: "Itu loh jembatan, yang bernama Hujung Galuh di Ngagel, bahaya itu".
Terlihat dalam ekspresi wajahnya bahwa dia menghawatirkan akan adanya dampak dari pemamaan itu. Dalam benaknya jembatan Hujung Galuh tidaklah sama dengan Hujunggaluh.
Penulis, yang ketika itu terlibat dalam obrolan santai bersama sejarawan Purnawan Basundoro (Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Timur) dan Reni Agustin (Wakil DPRD Kota Surabaya), langung menangkap kemelut dalam benak sang Profesor. Panulis pun langsung berinisiasi menelusuri data data kepustakaan dan hasil penelusuran lapangan yang pernah dilakukan tim pada 2021 terkait dengan Hujunggaluh dan mengapa Hujunggaluh dikaitkan dengan Surabaya.
Hujunggaluh adalah nama sebuah pelabuhan kali, yang tertulis pada prasasti Kamalagyan tinggalan Raja Airlangga dengan angka tabun 1037 Masehi atau 959 Saka. Prasasti ini masih pada posisi asalnya di Dusun Klagen, Desa Troposo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Isi prasasti adalah tentang pembangunan sebuah bandungan (dam) di Wringin Sapta oleh Raja Airlangga dari Kahuripan bersama rakyat.
Atas pembangunan bendungan itu, maka terbebaslah rakyat dari musibah banjir sehingga mereka bisa berperahu ke hulu ke Hujunggaluh untuk berdagang dan membeli barang barang dagangan.
Kutipan yang terkait dengan pelabuhan Hujunggaluh ini adalah:
“...kapwa ta sukhamanaḥ nikāŋ maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ, tka rikāŋ parapuhawaŋ prabaṇyaga sankāriŋ dwīpāntara“.
Artinya : “Semua bergembira, berperahu(lah) menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ. Datang (pula) para nahkoda, kapal kapal dagang dari pulau pulau sekitar”.
Secara praktis dapat dipahami bahwa letak Hujunggaluh berada di hulu sungai dari keberadaan Prasasti yang berada di kawasan Wringin pitu, Krian.
Prasasti Kamalagyan di Tropodo, Krian
Tetapi, Prasasti Kamalagyan, yang digunakan sebagai sumber sejarah Hari Jadi Kota Surabaya, ditafsirkan berbeda. Dalam buku "Hari Jadi Kota Surabaya" (Humas Pemkot 1975) dituliskan bahwa keberadaan Hujunggaluh sebagai pelabuhan itu berada di hilir sungai.
Data dan tafsiran para ahli Hari Jadi Kota Surabaya itu berbeda dengan pembacaan epigraf yang jamak mengatakan bahwa Hujunggaluh berada di hulu sesuai dengan kutipan yang berbunyi :..."maparahu samaṅhulu maṅalap bhāṇḍa ri hujuŋ galuḥ,...'(berperahu menuju hulu, mengambil barang dagangan di hujuŋ galuḥ).
Karena ditafsirkan ke hilir dan diduga di Surabaya, maka dicarilah bukti bukti yang ada di Surabaya, yang kiranya dapat mendukung penafsiran bahwa Hujunggaluh berada di hilir atau di Surabaya. Tim peneliti, yang terbentuk dan bekerja dalam kurun waktu 1973-1975 ini, menemukan sebuah jalan yang bernama jalan Galuhan di kelurahan dan kecamatan Bubutan, Surabaya.
Dalam buku "Hari Jadi Kota Surabaya, Sura ing Baya 682 tahun" dinyatakan bahwa nama Galuhan merupakan perubahan dan toponimi dari nama Ujunggaluh. Dari sanalah diyakini bahwa Hujunggaluh yang disebut pada prasasti Kamalagyan (1037 M) terletak di wilayah Surabaya (karena nama jalan dan Taman Galuhan).
Tafsiran ini menjadi kesimpulan, yang mendasari cerita sejarah Kota Surabaya bahwa Hujunggaluh adalah cikal bakal Surabaya. Bahwa nama jalan Galuhan ditafsirkan berasal dari Hujunggaluh.
Jalan Galuhan Pengganti Jan Van Der Heidenstraat (Nieuwe Courant 1950)
Padahal, nama Hujunggaluh adalah nama baru (sejak 1950) untuk menggantikan nama yang berbau kolonial. Perubahan nama jalan ini terjadi untuk semua nama nama jalan yang berbau Belanda. Perubahan nama jalan ini selain terpublikasi dalam surat kabar, juga dibuat dalam bentuk buku saku. Sesuai dengan pemberitaan surat kabar Nieuwe Courant tanggal 28 Maret 1950, sebelum dipasang nama Galuhan, asalnya bernama Jan van der Heidenstraat. Sedangkan Taman Galuhan menggantikan Lorentplein.
Dapat dipahami, ternyata nama jalan Galuhan, yang sudah ada sejak tahun 1950, dianggap sebagai topinimi Hujunggaluh ketika tim peneliti Hari Jadi Kota Surabaya melakukan penelusuran dan penelitian dalam kurun waktu 1973-1975.
Kini, melalui investigasi dan penelusuran oleh Tim Begandring, diketahui bahwa Hujunggaluh sebagaimana tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037) letaknya tidak di hilir atau Surabaya. Melainkan di hulu, entah dimana.
Kemudian nama jalan Galuhan bukanlah toponimi dari Hujunggaluh, melainkan nama baru (1950) untuk menggantikan nama lama yang berbau kolonial.
Dari hasil temuan dan investigasi Begandring Soerabaia maka jelaslah apakah Hujunggaluh, yang tersebut pada prasasti Kamalagyan (1037), memiliki kaitan dengan Surabaya? Jawabnya, tidak !
Apakah nama jalan Galuhan adalah toponimi dari Hujunggaluh?
Jawabnya, juga tidak !
Lantas bagaimana sikap kita dengan nama Hujunggaluh, yang diidentikan dengan Surabaya?(Tim Riset Begandring)
Malika D. Ana
08.01.23
abad.id- Sebuah surat menjadi saksi kedekatan Presiden Sukarno dengan Jenderal Abdul Haris Nasution pada Mei 1960. Isi surat tersebut menyebutkan rasa terima kasih Sukarno menjaga kondisi negara dalam situasi genting. Surat dengan tulisan tangan Sukarno itu masih disimpan keluarga Nasution di rumah mereka, Gandaria, Jakarta.
Jasa Nasution terhadap Sukarno bukan sekali dua kali. Sejak jaman agresi militer, Nasution selalu menjaga kewibawaan presiden dan sangat loyal untuk mempertahankan kemerdekaan. Namun Nasution sempat dianggap kurang ajar saat menodongkan moncong tank ke istana. Sikap tersebut segera direspon secara baik oleh Sukarno dan mengeluarkan dekrit presiden kembali ke UUD 1945.
Jasa lain saat Sukarno melakukan lawatan ke Kuba ketika negara dalam kondisi genting. Pergolakan daerah masih merebak, penumpasan PRRI di Sumatera belum tuntas, dan di kawasan timur Indonesia Permesta masih mengancam. Nasution salah satu petinggi Angkatan Darat yang sangat aktif memadamkan pergolakan daerah tersebut.
Kedekatan Sukarno dan Nasution ini juga dicatat oleh Merle Calvin Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Nasution memiliki pandangan politik sama dengan Djuanda dalam menghadapi pergolakan pemberontakan. Mereka harus ditumpas. Keberhasilan operasi militer ini mampu mendudukkan Nasution sebagai perwira paling cemerlang.
Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi yang memelihara keamanan Jawa Barat. Foto Istimewa
Sebenarnya kedekatan Nasution dengan Sukarno ini terjadi jauh sebelum Indonesia menjadi sebuah negara. Nasution yang dilahirkan di Desa Hutapungkut, Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, dari keluarga Batak Muslim merupakan putra tertua dalam keluarganya. Ayahnya seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi, dan merupakan anggota dari organisasi Sarekat Islam. Ayahnya sangat religius, hanya ingin anaknya belajar di sekolah agama. Sementara ibunya ingin Nasution belajar di kedokteran Batavia. Namun, setelah lulus dari sekolah pada tahun 1932, Nasution menerima beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi.
Tiga tahun menjadi guru rakyat, tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studi. Di bandung ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru secara bertahap memudar saat minatnya dalam politik tumbuh. Dia diam-diam membeli buku yang ditulis oleh Sukarno dan membacanya dengan teman-temannya.
Sementara itu, melihat kehidupan Sukarno di Bengkulu, ditandai dengan ikut serta dalam organisasi Muhammdyah. Tidak lama setelah pindah, Sukarno terpilih menjadi wakil Muhammdyah yang baru di Bengkulu. Untuk mempermudah kegiatan organisasinya, Sukarno mengajukan seorang teman china beragama islam Oey Tjeng Hien atau lebih dikenal HA Abdoel Karim. Sukarno mengenal Hian dari lingkungan Persis selama tinggal di Bandung. sejak di Bengkulu keduanya menjadi teman dekat.
Orang China ini tinggal di Bintuan, suatu kota kecil yang jaraknya lumayan jauh dari Bengkulu. Sukarno berpendapat, karena menjadi pejabat Muhammdah maka harusnya Abdoel Karim tinggal di kota Bengkulu, agar organisasi bisa berjalaan lancar. Awalnya Hien keberatan untuk pindah, sebab banyak asetnya berada di Bintuan. Namun berkat bantuan Sukarno, akhirnya aset di kota kecil tersebut bisa dijual. Keduanya bisa mendirikan perusahaan perabot di Bengkulu. Sebuah pabrik kecil-kecilan di Jalan Tebek di tempat tinggal Hien yang baru. Di papan depan perusahaan itu tertulis Perusahaan Mebel Suka Merindu, Di Bawah Pimpinan Ir Sukarno.
Untuk membangun perusahaan yang baru dirintis ini butuh perjuangan. Sukarno mulai pagi sudah naik sepeda menuju perusahaan yang jaraknya 2 kilometer dari rumah tinggalnya. Sukarno bekerja hingga sore. Sukarno merancang dan mendesain perabotan yang diproduksi, kemudian membantu merakitnya. Pendidikannya sebagai arsitek cukup membantu membuat produk mebel yang berkualitas baik. Dalam waktu singkat, perusahaan mebel terebut menjadi terkenal hingga keluar Bengkulu.
Bengkulu sebuah kota kecil yang kaya akan hasil bumi. Beberapa kapal yang singgah selalu merapat di pelabuhan untuk mengangkut hasil kebun dan tenaga kerja. Banyak penumpang asal Jawa yang hendak menuju Sumatra selalu menggosipkan tentang Sukarno yang sedang dibuang di Bengkulu. Ya..kabar Sukarno dalam pembuangan telah menjadi legenda pada masa itu. Banyak prbumi sangat meghargai perjuangan Sukarno yang membangun nasionalisme. Maka sangat wajar jika orang orang di pelabuhan perlu bahan gosip baru untuk membicarakana kehidupan Sukarno untuk melayani pertanyaan penumpang kapal.
Gosip tentang kerja keras dan penderitaan Sukarno itu terdengar di telinga Abdul Haris Nasution. Anak muda yang menjadi salah satu penumpang kapal yang hendak menuju tempat kelahirannya di Tapanuli Utara Pantai Barat Sumatra. Saat itu AH Nasution usai pulang dari belajar di Sekolah Guru Tinggi Pribumi di Bandung pada tahun 1938. Waktu kapalnya sedang sandar di pelabuhan Bengkulu, hati Nasution sebagai pemuda langsung bergelora. Nasution spontan mengambuil keputusan untuk menurunkan barangnya ke dalam perahu kecil yang telah merapat untuk menjemput penumpang ke dermaga. Saat itu juga tekatnya untuk mengembara ke Bengkulu. Keputusan ini kelak mengantarkan nasib hidupnya menjadi bagian sejarah penting di Indonesia.
Benar, tidak lama kemudian Nasution mendarat di dermaga. Tidak ada sanak saudara yang dituju. Sebagai orang Batak yang biasa merantau, persoalan sendiri seperti ini perkara mudah. Pertama-tama yang dilakukan Nasution muda mencari pekerjaan sambil bisa berkenalan dengan Sukarno yang tersohor. Perjalanan dari dermaga menuju rumah Sukarno tidak mengalami kesulitan. Hampir semua orang di dermaga kenal dan tahu alamat Sukarno. Setelah bertemu dengan sebuah rumah yang diyakini ditinggali Sukarno, Nasution langsung mencari tempat pemondokan di sekitar rumah tersebut. Saat itu sangat mudah mencari rumah kos di Bengkulu.
Malam harinya, Nasution segera berkunjung ke rumah Sukarno untuk memperkenalkan diri sebagai tetangga baru. Betapa gembiranya Nasution disambut hangat oleh keluarga Sukarno. “ Hati saya bergetar begitu mendengar cerita dari kapal bahwa bapak tinggal di Bengkulu, dan saat itu juga saya ingin berkenalan dengan bapak ,” kata Nasution dengan sopan.
Tentu saja pernyataan ini sebagai pujian sekaligus basa-basi yang menyenangkan. Sukarno yang merasa sudah lama tenggelam dalam perpolitikan, rupanya namanya masih dikenal anak-anak muda. Apalagi Nasution menyatakan sangat terinspirasi setelah membaca sebuah buku karangan Sukarno yang berisi pembelaan dalam sidang. Sebagai tetangga, Sukarno mempersilahkan kepada anak muda Nasution untuk sering singgah. Tentu saja ajakan ini tidak disia-siakan Nasution.
Sejak saat itu hubungan Nasution dengan Sukarno semakin akrab. Setiap kali Sukarno berangkat kerja dengan naik sepeda melewati rumah kos Nasution, keduanya selalu saling menyapa. Sepertinya Nasution sengaja menunggu Sukarno lewat agar terjalin hubungan lebih akrab. Sesekali Nasution mendatangi rumah Sukarno untuk menanyakan suatu hal tentang nasionalisme. Rupanya jawaban Sukarno kurang dipahami Nasution. Sukarno selalu bercerita tentang falsafah, sementara anak muda itu sangat menginginkan sebuah gerakan. “ Harapan saya tentang pemimpin nasional yang sudah menjadi legendaris itu ternyata agak mengecewakan. Sukarno seakan-akan sebuah Al Quran berjalan dan sesekali menggunakan peribahasa Belanda,” kesan Nasution seperti yang ditulis dalam otobiografi Sukarno karya Lambert Giebels.
Sangat mudah bagi Nasution yang lulusan Sekolah Guru Tinggi Bandung mendapatkan pekerjaan selama di Bengkulu. Nasution mengajar di sebuah sekolah Belanda di Bengkulu. Hanya dua bulan kemudian Nasution dipindah menjadi guru tetap sebuah sekolah di Palembang. (pul)
Pulung Ciptoaji
31.01.23
Kesuksesan PlayStation mengubah peta persaingan jagat game. Dominasi Nintendo terganggu, Sega telah terdepak dari bisnis konsol dan Microsoft masuk dengan konsol Xbox. Sebab PlayStation sudah masuk ke game di PC komputer. Foto ilustrasi.net
Penulis : Pulung Ciptoaji
Saya akhirnya sadar bahwa naluri bermain itu tanpa batas usia. Biarpun anak-anak yang memang di usia bermain hingga bapak-bapak yang sangat gandrung dengan imaginasi bermain. Bermain tidak kenal jaman, dan saat itu pula rental Playstasion masih dilirik pebisnis. Saya menemukan fakta unik bahwa sebuah usaha yang dapat menghasilkan omset jutaan per bulannya. Rental Playstation sejenis UMKM yang tidak pernah dilirik perbankan, namun tidak pernah lekang dari penggemarnya.
Sebuah rental Playstation di kawasan Karang Menjangan Surabaya misalnya, melayani penyewaan perhari dan bermain PS ditempat. Bahkan menurut Heri salah satu karyawannya, saat pandemi Covid 19, selama 2 tahun bisnis rental tidak sepi. Justru para penggemar game memilih sewa harian dengan ongkos Rp 200 ribu perhari. Memang stan rental tutup karena situasi pandemi, namun semua PS yang dimiliki telah beredar di rumah konsumen masing-masing. " Saat musim pertandingan sepak bola piala dunia seperti ini, PS makin digemari, baik siang hingga malam selalu ramai dikunjungi para pecinta game," kata Heri.
Bisnis rental PS masih menjanjikan meskipun telah digempur game mobile melalui aplikasi smarphone. Playstation masih berjaya dimasa kini, hingga Sony harus mengupdate teknologi dan mengeluarkan generasi 5. Di generasi 5 ini para gamer disuguhi dengan grafis yang menghibur mata. Dalam monitor gambar lebih halus serta resolusi lebih sempurna. Sehingga permainan seakan-akan nyata. Apalagi ruangan tempat bermain PS terdapat fasilitas audio bagus, tentu akan semakin betah serasa di tengah arena. Juga turut mengikuti banyak game PS selalu mengeluarkan produk terbarunya, sebagai contoh PES yang sudah berganti nama menjadi E-FOOTBALL PES 2022, juga sudah mengeluarkan produk yang disertai grafis yang selalu update. Namun dari beberapa gamer yang saya temui di rental Heri ini, tidak ada satupun yang tahu sejarah PS.
PlayStation yang disingkat PS dibuat pertama kali di Jepang merupakan merek konsol permainan video rumahan, serta pusat media, layanan daring, deretan pengontrol permainan, konsol genggam, dan ponsel pintar. PS diproduksi oleh Sony Interactive Entertainment, yang merupakan divisi dari Sony. Pertama kali dirilis sebagai konsol permainan video rumahan PlayStation di Jepang pada 3 Desember 1994.
Sejak pertama di launcing, PlayStation langsung mengguncang jagat game. Di masa awal produksi, Sony harus melawan raksasa konsol Nintendo dan Sega. Dari 2 lawan kuat ini, PS sangat diremehkan. PlayStation lahir dari ide Ken Kutaragi, eksekutif Sony yang memimpin divisi hardware. Ia kemudian akan dikenal sebagai sang bapak PlayStation.
Sejarah Awal Kelahiran Playstation
Dulu ketika saya masih usia sekolah dasar, nyaris tidak pernah keluar kamar setiap kali pulang sekolah. Sebab di rumah disediakan game Nintendo yan melegenda. Ada tokoh klasik paling sering dimainkan yaitu si tukah pipa, Super Mario Bross tahun 1988. Nintendo kala itu adalah raja konsol game. Keberhasilan Nintendo tersebut tidak lepas darai kerjasama denan Sony. Kutaragi berhasil meyakinkan Nintendo untuk menggunakan prosesor suara Sony SPC-700 di konsol SNES. Hingga kemudian Nintendo gantian mendekati Sony untuk mengembangkan add on CD-ROM di SNES.
Namun teknologi ini justru dikembangkan sendiri oleh Sony sebagai SNES-CD atau Play Station. Sony ingin membuat konsol sendiri yang kompatibel dengan SNES tersebut. Selain buat main game, bisa pula untuk memutar musik sesuai keahlian Sony. Namun Presiden Nintendo kala itu, Hiroshi Yamauhci, tidak senang, karena Sony dinilainya terlalu banyak menuntut sehingga kemitraan mereka terhenti.
Walau pecah kongsi dengan Nintendo, Sony memutuskan jalan terus dan membuat konsol game perdana mereka. Untuk projek pengembangan, Sony sempat mendekati Sega untuk kerja sama. Namun nyatanya ditolak juga. "Itu ide bodoh, Sony tak tahu bagaimana membuat hardware, juga software," kata CEO Sega Tim Kalinske.
Merasa bertepuk sebelah tangan, rupanya penolakan ini justru membuat Kutaragi dan timnya tertantang untuk membuat projek secara mandiri. Akhirnya dibuatlah prototipe PlayStation yang berbasis CD-ROM, dengan grafis game yang lebih halus. Presiden Sony, Norio Ohga, juga sangat mempercayakan proyek itu pada Kutaragi. Karena dia yakin bahwa PlayStation ini bisa menjadi salah satu cara untuk balas dendam ke Nintendo ataupun Sega yang meremehkan Sony.
Pertengahan tahun 1994, Sony mulai mengumumkan ke publik bahwa mereka akan terjun ke industri game dengan konsol sendiri. Karena tidak punya pengalaman membuat game, Sony giat berusaha mendapatkan dukungan dari developer game. Misalnya dari Konami, Namco sampai Williams Entertainment ikut menjadi pendukung awal PlayStation. Salah satu terobosan penting PlayStaion yaitu game bisa dimainkan dengan CD yang mampu menampung lebih banyak data, bukan lagi cartridge. Tradisi itu diteruskan oleh PS2 yang memainkan DVD dan PlayStation 3 dengan Blu Ray. Strategi Sony ini berbeda dengan Nintendo yang fokus membuat game sendiri. Bergabungnya Konami, Namco sampai Williams Entertainment dengan Sony berhasil membuat game-game lebih menarik, bervariasi sehingga banyak minat. Seri Metal Gear dan Grand Theft Auto salah satu paling sukses. Serta game sepak bola selalu ditunggu updatenya.
Hingga akhirnya pada tanggal 3 Desember 1994 menjadi hari bersejarah bagi kaum imaginer, sebab PlayStation generasi pertama diluncurkan. Rasa penasaran penggemar game akhirnya terjawab, sebab PS yang diproduksi Sony tidak mengecewakan. Bahkan jauh lebih bagus secara kuwalitas, speed gambar dan kejernihan audio dibanding kompetitornya yang baru dirilis Sega Saturn. Sambutan konsumen juga luar biasa, para gamer di Jepang rela mengantre panjang demi mendapatkan 100 ribu unit PlayStation di hari pertama peluncuran.
Brand Sony sebagai raksasa teknologi yang beralih ke produksi Hardware justru membuat penasaran para pencinta produk Sony. PlayStation ketika diedarkan ke negara-negara lain dan menjadi sukses.di Indonesia PS dibeli untuk kebutuhan pribadi serta direntalkan untuk bisnis. Karena produknya bagus, promosinya pun gila-gilaan. Bahkan Sony tidak pernah menunyut royalti terhadap bisnis rental PS yang menjamur itu. Bahkan penjualan total PlayStation generasi pertama tembus lebih dari 100 juta unit. Kemenangan Sony terhadap 2 kompetitor ini memotivasi Kutaragi untuk memproduksi PS2. Penjualan PS2 ini jauh lebih hebat dengan laku 155 juta unit, merupakan konsol terlaris sepanjang masa. (pul)
Author Abad
23.11.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id- Cinta memiliki kesan yang indah, sedih hingga berakhir romantis atau suatu kejahatan sekalipun. Kisah cinta para ksatria eropa ini bisa menjadi perjalajaran penting bagi umat manusia. Mereka berakhir dengan tragis, atau bahagia sesudahnya. Jika dongeng kisah cinta seorang pangeran dengan Cinderela hanya bisa didengar oleh anak-anak sebelum tidur, maka kisang cinta para ksatria eropa ini sebuah nyata adanya.
Misalnya kisah Napoleon dan Josephine menikah pada 9 Maret 1796. Atau Pangeran Edward dan Lillie Langtry. Meski hubungan mereka tidak berakhir dengan indah, namun kisah percintaan mereka menjadi legenda abadi.
Kisah cinta Napoleon dan Josephine
Penulis buku The Many Live and Secret Sorrows of Josephine, Sandra Gulland menghabiskan satu dekade meneliti dan percaya bahwa Napoleon penuh dengan mitos. Namun, dia yakin ada sesuatu yang sangat penting tentang Josephine yang begitu dicintai Napoleon. Menurut Gulland, Josephine pasti punya sesuatu yang istimewa hingga membuat Napoleon tergila-gila padanya.
"Mengapa Josephine? Dia adalah wanita yang sederhana dengan hati besar. Meskipun cerdas, dia bukan seorang intelek yang hebat. Dia ibu luar biasa, teman yang baik, majikan yang peduli, istri penyayang dan tahu menjadi nyonya rumah yang baik, dan tahu bagaimana menjadi ratu," tulis Gulland.
Bagi orang Perancis, selalu menganggap kisah cinta yang abadi itu disematkan nama Napoleon dan Josephine. Padahal keduanya bukan orang Perancis tulen. Misalnya Napoleon dilahirkan di Pulau Corsica dan orang tua berasal dari Italia. Sedangkan Marie Josephe Rose Tascher de La Pagerie seorang Cleole atau sebutan lain dari orang Hindia Barat yang berdarah Spanyol. Keduanya berkenalan saat terjadi Revolusi Prenacis (1789) dan menikah pada tahun 1796. Saat itu Josephine sudah berumur 30 tahun dan sudah kenyang akan asam garam hidup. Sebelumnya di usia 15 tahun, Josephine dijodohkan dengan Le Comte de Beauharnais seorang bangsawan Perancis dan kemudian bercerai. Setelah itu Josephine memilih pulang ke Hindia Barat.
Namun situasi peperangan membuan Josephine harus kembali ke Perancis dan rujuk kembali dengan bekas suaminya itu. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Sejak revolusi Perancis terjadi keduanya harus masuk penjara. Sebab Le Comte de Beauharnais seorang loyalis pro raja. Maka Robespierre ketua Tribun Revolusioner menganggap siapapun yang pro raja bisa dipenjara tanpa diadili. Bahkan nasib Le Comte de Beauharnais tewas ditangan pisau penggal karena dianggap orang berbahaya.
Selama di penjara itu, janda Josephine berkenalan madame Tailen seorang warga Spanyol istri dari jean lambert Tailen, tokoh revolusi Perancis yang akhirnya memberontak ke Robespierre. Kedua wanita ini muncul menjadi penyemangat bagi kaum revolusioner. Bagi Josephine, ini merupakan kesempatan untuk merubah nasib dan penderitaannya. Apalagi dirinya sangat dekat sebagai istri simpanan Barras seorang pengusa Perancis pada masa itu.
Pertemuan antara Marie Josephe Rose Tascher de La Pagerie seorang Ratu Prancis yang berusia 30 tahun dengan Napoleon yang berumur 26 tahun pada tahun 1975 di sebuah pesta yang diselenggarakan oleh Paul Barras.
Keduanya bertemu dan saling jatuh hati, sementara posisi Josephine tidak sedang baik dengan Paul Barras yang ingin mengakhiri hubungannya. Sehingga mendorong Napoleon sang perwira muda angkatan perang ingin menjalin kasih dengan Josephine. Cinta Napoleon tidak bertepuk sebelah tangan. Dia berani melamar Josephine pada Januari 1796 dengan cara mengiriminya banyak surat cinta sangat romantis, dan 'bergairah'. Keduanya menikah meskipun tindakan Josephine ini dianggap menurunkan derajat kebangsawannya.
Saat itu Napoleon menjadi Komandan Ekspedisi Militer ke Italia tahun 1796-1797. Sebagai istri yang ditinggal suaminya di garis depan pertempuran, ternyata Josephine memilih tidak setia. Banyak surat surat cinta dari sang suami yang sedang berperang di Italia hingga Mesir, tidak banyak dibalas. Besar kemungkinan, Josephine telah lupa dengan Napolion, atau sedang kasmaran dengan pria lainnya. Akhirnya tindakan Josephine ini terdengar juga di telinga Napoleon melalui pos penjagaan. Napoleon muntab, dan segera mengirim surat akan menceraikan istrinya itu.
Napoleon bermaksud membalas dengan melakukan hal yang sama. Dia selingkuh dengan istri seorang petugas saat di Mesir, bernama Pauline atau dikenal sebagai 'Cleopatra' Napoleon. Meski demikian, Napoleon tetap mencintai istrinya, bahkan ketika Josephine makin malas membalas surat-suratnya.
"Aku menulis (surat) kepadamu kekasihku sangat sering dan kamu menulis sangat sedikit. Kamu jahat dan nakal. Tidak setia dan menipu suami yang menyedihkan, seorang kekasih yang sabar," tulisnya dalam salah satu surat.
Pada 1798, Napoleon memimpin 35 ribu pasukan untuk melawan Mesir dan pada Oktober setahun kemudian, dia ditugasi memimpin pemerintahan dengan kekuatan terbatas. Selama masa itu, Napoleon berhasil mengambil kendali atas Prancis dan Italia setelah mengalahkan Austria. Dia mereformasi sistem pendidikan dan hukum Prancis, membentuk regulasi baru yang dikenal dengan Code of Napoleon.
Kehidupan keduanya akhirnya dipertemukan di puncak kejayaan. Namun satu persatu kepribadian dan dosa Josephine akhirnya diketahui oleh sang suami. Apalagi ketidak kemampuan Josephine melahirkan anak sebagai penerus tahta, membuat Napoleonmakin gusar.
Josephine pernah keguguran sekali dan banyak yang berpikir bahwa dia tidak bisa punya anak lagi. Hanya lima tahun setelah mereka menikah Napoleon dan Josephine resmi bercerai pada 10 Januari 1810. Keduanya disebut masih saling mencintai, tapi kebutuhan akan ahli waris lebih penting dari perasaan tersebut. Mereka tetap berhubungan baik dan Napoleon masih mengizinkannya menyandang gelar Ratu. Napoleon akhirnya menikahi cucu Franz I dari Austria, Marie Louise. Dari pernikahan itu, lahir seorang putra yang diberi nama Napoleon II.
Sesudah perpisahan itu, kekuasaan Napoleon makin memudar. Sementara Josephine pindah ke kediaman pribadinya di Malmaison, dekat Paris. Di sana dia tetap hidup mewah dan masih menerima banyak tamu pribadi. Hidupnya juga masih dibiayai oleh Napoleon. Tapi di usia 51 tahun, Josephine tutup usia karena pneumonia pada 29 Mei 1814. Sementara Napoleon meninggal dunia 7 tahun kemudian sebagai tahanan Inggris di Pulau Saint Helena di Samudera Atlantik.
Memang, data tarik Sexual Josephine penuh misteri. Meskipun dia seorang janda yang sudah banyak asam garam pernikahan dan cinta, ternyata masih mempesona. Suatu saat kabar sakit keras Josephine sudah terdengar di seluruh eropa. Salah satu orang paling gelisah atas sakitnya adalah kaisar Rusia yang masih muda, terihat mondar mandir di kebun Malmaison.
Pangeran Edward Dan Lillie Langtry
Dari sekian banyak petualangan cinta Pangeran Edward dari Wales, ternyata memiliki hubungan istimewa dengan Lillie Langtry. Kisah cinta mereka sering dijadikan sumber ide buku, film hingga seri televisi. Pribadi sang Pangeran sebenarnya tidak terlalu menarik. Nama panggilannya saja Tum Tum karena perutnya gendut dan bergoyang saat berjalan. Namun tidak ada satupun yang berani menyapa nama panggilan itu didepannya. Sebab dia seorang Pangeran sekaligus putra mahkota.
Dia terlalu lama menjadi pangeran selama 60 tahun dan duduk menjadi raja di Wales hanya 9 tahun. Semua hanya gara-gara sang ibu ratu Victoria dikaruniai umur panjang, sehingga membuat Pangeran Edward selalu gusar. Sang pangeran lari dari perilaku normal sebagai bangsawan dan memilih suka berpesta, main judi dan main perempuan. Istrinya Putri Alexandra bisa memahami tingkah laku Pangeran Edward ini. Bahkan sebelum Putri Alexanrdra meninggal dunia, mengijinkan Nyonya Keppel kekasih muda Pangeran Edward menunggu di samping tempat tidurnya.
Ilustrasi dok. Foto Ist
Perkenalan Pangeran Edward soal sex pertama kali saat di sekolah militer dan ditugaskan di Irlandia. Oleh perwira seangkatan, dirinya diajari berbuat nakal, dengan dikenalkan banyak wanita sebelum berperang. Salah satunya seorang artis bernama Nellie Clifton yang bersedia diselundupkan ke barak demi birahi sang pangeran. Peristiwa ini akhirnya menjadi gempar setelah didengar orang tua Pangeran Edward.
Mereka sangat gusar dengan kenakalan anaknya. Lebih celaka lagi pangeran Albert ayah dari Pangeran Edward meninggal dunia seminggu kemudian setelah mendengar gosip memalukan itu. Akibat kejadian itu, ratu Victoria yang mencintai suaminya benar-benar tidak bisa memaafkan Pangeran Edward. Langsung saja sang pangeran dibebas tugaskan. Peristiwa tersebut justru menjadi momentum Edward untuk lebih merdeka dan berbuat lebih leluasa. Dia makin menjerumuskan diri dalam kesenangan duniawi meskipun usia mulai 50 tahun.
Sementara itu Lillie Langtry sebenarnya hanya satu diantara kekasih Pangeran Edward. Dia hadir di kehidupan pangeran Edward beberapa tahun saja antara 1870 hingga 1880. Namun kehadiran Lillie membuat cerita yang melegenda bagi warga Inggris hingga saat ini.
Lillie lahir di Jersey seorang putri Ketua Dewan Gereja pada tahun 1853. Ketika umur 21 tahun, dia menikah dengan Edward Langtry orang sangat kaya di Irlandia. Kecantikan Lillie yang luar biasa menjadi sangat terkenal ketika diperkenalkan di kalangan atas di Kota London. Ia bahkan sempat dilukis oleh Sir John Everett Milais. Sejak munculnya lukisan itu, dia menjadi populer dengan julukan “Bunga Lili Dari Jersey. Bahkan pujangga Oskar Wilde pernah menciptakan kisah drama Lady Windermeres Fan karena kekagumannya.
Ketika berjumpa dengan Pangeran Edward, usia Lillie sudah 40 tahun di sebuah jamuan makan malam. Karena daya pesona Lillie, sang pangeran langsung menyanjungnya. Beberapa kali mereka terlihat naik kereta kuda dan jalan-jalan pagi. Pangeran Edward yang biasanya sembrono dan ugal ugalan, kali ini harus sangat hati-hati saat dekat dengan Lillie.
Istri pangeran Edwar menerima nasibnya dengan tabah. Malah ia mengundang Lilie sebagai kawan untuk berjumpa dengan Pangeran Edward di rumahnya. Sungguh suatu kegilaan dan melanggar norma sosial pada masa itu. namun tidak demikian dengan suami lillie Edward Langtry. Ia kesal karena hanya dianggap status sebagai suami saja diatas kertas. Sementara jika dia protes dan marah, hubungan keduanya semakin mesra sebagai kekasih Prince of Wales.
Akhirnya hubungan Pangeran Edward dan Lillie mulai dingin dengan alasan tidak jelas. Ada yang mengatakan gara-gara Lillie pernah menyebut nama Tum-Tum “sebutan Pangeran Edward” di muka umum. Padahal pangeran sangat merahasiakan nama tersebut, dan hanya kalangan tertentu saja yang boleh memanggilnya. Ada pula yang mengatakan, perang dingin karena ambisi Lilie untuk menjadi artis, dan profesi itu tidak terhormat bagi kalangan keluarga kerajaan pada masa itu.
Tidak dijelaskan akhir kisah hubungan keduanya. Hanya saja usai lawatan dari Amerika Serikat, kedudukannya sebagai kekasih Price of Wales telah digantikan oleh Deasy Countess of Warwick. Lilile sempat menjadi kekasih beberapa pria kalangan atas Inggris lainnya setelah sang suaminya Edwar Langtry meninggal dunia. (pul)
Author Abad
31.10.22
Penulis : Nanang Purwono
abad.id-Ada yang menarik dari gedung Singa, yang beralamat di Jalan Jembatan Merah 19-23 Surabaya. Umumnya, untuk menandai proyek pembangunan sebuah gedung, di sana dipasang sebuah prasasti yang menyebut nama arsitek atau kontraktor pembangunan.
Diketahui bahwa nama arsitek Gedung Singa adalah HP Berlage. Tapi namanya tidak ada pada batu prasasti di gedung Singa, yang nama resminya adalah Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam,
Disana memang ada sebuah prasasti. Tapi yang terukir bukan nama arsitek (Berlage) dan kontraktor. Tapi Jan Von Hemert. Batu prasasti itu terpasang pada dinding depan bagian bawah, dekat pintu masuk utama. Bunyinya "De Eerste Steen is Gelegd op 21 Juli 1901 door Jan Von Hermet", yang artinya Peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901 oleh Jan Von Hermet. Siapakah Jan Von Hermet?
Dari hasil pencarian dan penelusuran bersama antara Begandring Soerabaia dan Max Meijer (konsultan permuseuman dan heritsge di Belanda) diketahui bahwa Jan von Hemert adalah putra pasangan Pierre Theodore von Hemert (Amsterdam, 25 April 1865) dan Geertruide Johanna Zilver Rupe (Surabaya, 22 Januari 1871). Jan von Hemert sendiri lahir di Surabaya, 19 September 1893.
Lantas siapakah Piere Theodore Von Hemert? P. Th. Von Hemert adalah Kepala Perwakilan perusahaan asuransi De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau yang lebih populer disebut Gedung Singa.
Menurut Max dari hasil penelusuran nya di sumber arsip Belanda, delpher.nl, bahwa P. Th. Von Hemert adalah direktur atau pejabat perwakilan tertinggi perusahaan asuransi De Algemene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente di Hindia Belanda. Ketika ia mulai membangun kantor perwakilan pusat di Hindia Belanda, tepatnya di Surabaya pada tahun 1901, peletakan Batu pertama sebagai peresmian mulai dibangunnya kantor baru dilakukan oleh anaknya yang bernama Jan Von Hemert.
Ketika peletakan batu pertama pada 21 Juli 1901, usia Jan Von Hemert masih 8 tahun. Ia lahir pada 19 September 1893. Selanjutnya ketika Jan Von Hemert berusia 18 tahun, bapaknya, Piere Theodore Von Hemert meninggal, tepatnya pada 10 April 1911 dan dimakamkan di pemakaman Belanda Peneleh.
Sebagai pejabat dari perusahaan yang terkenal di Hindia Belanda, kematian Piere Theodore Von Hemert meninggalkan luka mendalam bagi mitra, rekan, keluarga dan handai tolan. Banyak dari mereka yang menyampaikan rasa bela sungkawa. Selanjutnya, sebagai ucapan terima kasih, pihak keluarga mengiklankan di surat kabar baik yang terbit di Hindia Belanda maupun di Belanda.
Semasa hidupnya sebagai direktur perusahaan asuransi yang terkenal, ia tidak berpuas diri dengan pencapaian perusahaan. Hemert terus aktif mengiklankan perusahaannya melalui iklan iklan surat kabar agar semakin banyak nasabah dan klien. Dari arsip delpher.nl dapat diketahui bahwa perusahaan itu mengiklankan jasanya di koran dua atau tiga kali dalam sebulan. Hemert juga rutin mempublikasikan neraca perusahaan.
Dari hasil penelusuran komunitas Indonesia Graveyard, dr. Winanda Denis Kurniawan, diketahui dimanakah keberadaan makam Piere Theodore Von Hemert, direktur Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam di Surabaya. Bahwa ternyata makam direktur perusahaan asuransi yang berkantor di Gedung Singa itu ada di bagian selatan area makam Belanda Peneleh dengan nomor B. 3015.
Ketika Begandring Soerabaia dan Indonesia Graveyard mencari keberadaan makam P. Th. Von Hemert dan berhasil menemukannya, sayang sekali, makamnya sudah kehilangan prasasti, yang umumnya tertulis riwayat hidup orang yang mati. Makam pembesar perusahaan asuransi ini terlihat sederhana. Tidak ada bekas cungkup, yang umumnya satu paket dengan pagar. Makam hanya dibungkus Batu marmer putih. Itupun juga sudah hilang semua. Ada bekas pecahan Batu marmer di atas makam. Kecuali dua lembar marmer di bagian depan makam yang bertuliskan nomor registrasi B. 3015 dengan jelas. Dari nomor registrasi itulah keberadaan makam direktur perusahaan asuransi De Algemeene Maastchsppij dapat ditemukan.
Menurut petugas makam, Irul, bahwa kerusakan pada makam itu terjadi akibat penjarahan pada beberapa puluh tahun yang lalu, termasuk kerusakan yang terjadi di makam Piere Theodore Von Hemert.
"Saya ini penerus dari kakek dan bapak. Kakek saya, ketika masih hidup pernah menceritakan tentang makam ini. Salah satunya adalah tentang penjararahan yang pernah terjadi dulu", jelas Irul mengenang kakeknya ketika masih berdinas di makan Belanda Peneleh.
Dengan ketemunya makam direktur perusahaan asuransi Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Thdodore Von Hemert, terpecahkan juga nama Jan Von Hemert yang tertulis pada prasasti di Gedung Singa yang didesign oleh HP Berlage.
Kritik Arsitektur
Diduga ada kaitan erat antara arsitek Berlage dengan direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam, Piere Theodore Von Hemert. Bagaimana kaitan itu?
Piere Theodore Von Hemert, yang menjabat sebagai direktur De Algemeene Maatschappij van Levensverzekering en Lijfrente Amsterdam untuk Hindia Belanda, diduga salah satu dari direktur yang kemudian menjabat sebagai pimpinan tertinggi di perusahaan asuransi di Hindia Belanda. Perusahaan ini sendiri sudah adai sejak 1880.
Menurut Journal for Southeast Asian Architectur (2003) yang ditulis oleh Paulin KM van Roosmalen bahwa ketika aktivitas komersial dimulai pada awal abad ke-20, permintaan akan bangunan perusahaan yang baru dan berkarakteristik meningkat pesat.
Salah satu desain pertama untuk bangunan perusahaan, yang mendapat pujian sebagai 'gaya arsitektur yang pas', adalah gedung kantor untuk perusahaan asuransi De Algemeene di Surabaya. Gedung, yang bisa dilihat sekarang, adalah hasil penyempurnaan oleh Berlage.
Petra Timmer, seorang peneliti asal Belanda yang tengah mempersiapkan peringatan 100 Berlage di Hindia Belanda, memberi penjelasan tentang cerita mengapa Berlage bisa ditunjuk untuk mendesign gedung untuk kantor perusahaan asuransi di Surabaya, Hindia Belanda.
Petra bercerita bahwa Hulswit (arsitek Belanda yang bekerja dan tinggal di Hindia Belanda), memang ditunjuk untuk membuat desain pertama. Kemudian design itu dikirim ke kantor pusat De Algemeene di Belanda. Saat itu Berlage sendiri memang sedang ditugaskan untuk mendesain kantor pusat De Algemeene di Amsterdam, Beurs van Berlage.
Kemudian pihak direksi meminta nasihat Berlage atas desain yang dibuat Hulswit. Ternyata Berlage menolaknya. Kemudian Huslwit membuat desain kedua lalu dikirim lagi ke Kantor Pusat di Belanda. Lagi lagi, Berlage kembali dimintai nasihat. Berlage tidak setuju. Lantas, Berlage membuat beberapa perubahan besar atas design Hulswit.
Salah satu upayanya adalah membeli dan meruntuhkan bangunan di sebelahnya agar kantor Algemeene bisa diperluas dan desain fasad dibuat simetris. Terjadi pertentangan antara Berlage dan Hulswit. Hulswit tidak setuju dengan perubahan Berlage dan tidak ingin membuat gambar baru.
Karena itu, Hulswit meninggalkan Surabaya dan pergi ke Batavia. Maka selanjutnya Berlage menjadi perancang gedung Algemeene di Surabaya.
"Sejauh mana desain 'Berlage', atau elemen mana yang tersisa dari desain Hulswit, saya belum belum tahu. Yang pasti penambahan patung Singa bersayap karya Da Costa dan keramik lukis karya Jan Toorop adalah gagasan Berlage", jelas Petra.
Di Belanda, karya design Berlage setelah Surabaya adalah gedung Bursa Efek, Beurs van Berlage di kota Amsterdam. Ini sepenuhnya karya Berlage.
Sementara menurut Paulin KM Van Roosmalen dalam jurnal ilmiahnya "Journal for Southeast Asian Architectur (2003) bahwa Hulswit membuat design dengan style Eropa. Design ini yang membuat Berlage tidak setuju. Ketidak setujuan itu diwujudkan dengan berkirim surat ke Dewan Direksi.
" Mungkin ada alasan bagus untuk ini (gaya Eropa), dan jika demikian saya akan senang mendengarnya. Tetapi saya tidak dapat melakukan selain memberikan penilaian (kritik) terhadap arsitektur Eropa semacam ini", kata Berlage sebagaimana ditulis oleh Roosmalen dalam tulisan ilmiahnya Journal for Southeast Asian Architectur (2003).
Di antara Dewan Direksi ini diduga ada Piere Theodore Von Hemert, karena dialah yang selanjutnya memegang jabatan untuk kantor baru di Hindia Belanda, khususnya di Surabaya. Apakah Piere Theodore Von Hemert, yang makamnya ada di Peneleh, pernah bertemu dengan Berlage? (nng/pul)
Author Abad
20.12.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
Surabaya, Palagan 10 November 1945 di Surabaya yang terjadi 77 tahun silam, dikenang sebagai Hari Pahlawan. Dalam literatur Indonesia, peritiwa itu menjai penting dan menguji pertaa kalinya kewibawaan Sukarno sebagai presiden. Dalam otobiografinya Sukarno, mengistilahkan masa bersiap. Dilukiskan sebagai suatu masa kepahlawanan dalam revolusi nasional. Maksud masa bersiap itu, mereka yang bergerak tanpa arah, penuh penjarahan, pemerkosaan dan pembunuhan-pembunuhan liar secara keji. Targetnya mereka yang dianggap musuh yaitu kaum Belanda dan indo keturunan. Bahkan penduduk China yang dianggap prokolonial menjadi target sasaran masa bersiap tersebut.
Saat itulah, peran Sukarno yang baru saja ditunjuk sebagai presiden dituntut untuk merubah keadaan dan ketertiban. Saat masa bersiap itu, Sukarno berkali kali mengingatkan tentang siapa kawan dan siapa lawan. Sebab dalam keyakinan Sukarno, musuh terbesar masih belum datang, sementara kekuatan kelompok revolusi harus dihemat. Kegagalan paling tampak saat menenangkan masa yang sedang marah di Surabaya.
Saat itu Mountbarren jendral asal Inggris memutuskan untuk menempatkan pasukan di kota-kota besar Indonesia, yaitu Surabaya, Palebang, Semarang Medan dan Jakarta. Namun kehadiran pasukan Inggris yang hendak melakukan kegiatan pelucutan pasukan Jepang itu dikira bentuk penjajahan baru. Terbukti revolusi sosial terjadi di Surabaya dengan munculnya insiden bendera di Hotel Yamato. rakyat Surabaya semakin yakin, kehadiran tentara Inggris ini juga membonceng kompeni Belanda yang siap masuk menjajah kembali indonesia.
Para pemuda Surabaya yang sejak awal Oktober 1945 menguasai persentaan milik tentara Jepang, semakin percaya diri untuk menyerang tentara Inggris. Beberapa insiden letupan senjata terjadi di beberapa tempat. Pemuda Surabaya pantang mundur berhasil memukul mundur tentara Inggris hingga di tepi pelabuhan.
Tanggal 25 Oktober 1945 brigade ke 49 yang sebagian besar pasukan Gurka India tiba di Surabaya. Tentara Inggris ini di pimpin Brigadir Jendral Mallaby. Total kekuatan 4 ribu tentara dengan alat tempur. Moestopo seorang dokter gigi yang menjadi komandan tentara republik di Surabaya sangat berambisi mengusir kedatangan tentara Inggris ini. Namun Sukarno membujuknya melalui sambungan telpon, dengan mengatakan tentara Inggris bukan lawan.
Tanggal 27 Oktober situasi masih tenang. Memang masih ada kepulan asap dan puing puing bangunan sisa serangan. Pagi itu tiba-tiba warga Surabaya digemparkan dengan pamfelt yang dijatuhkan dari pesawat. Isinya mewajibkan penduduk kota meletakan senjata dan tidak ada perlawanan. Konon aksi pesawat pembawa pamlet ini tanpa diketahui Jendral Mallaby. Aksi ini tentu membuat amarah arek-arek Suroboyo semakin tidak bisa menahan diri. Radio pemberontak yang bergerak dibawah tanah pimpinan pemuda Sutomo ( Bung Tomo) berkali-kali menyampaikan peristiwa ini sangat menyinggung dan tidak sopan. Bung tomo semakin yakin, bahwa aksi penyebaran pamlet ini ulah NICA, lembaga bentukan Belanda yang membonceng tentara Inggris. Saat itu juga, aksi anarkis semakin mengganas.
Dalam berbagai literatur, aksi pemuda Surabaya sangat nekat. Mereka mengepung pos pasukan Inggris dimanapun tempatnya. Setiap kali kendaraan militer yang lewat selalu diganggu. Bahkan seluruh penumpang dibunuh dan isinya dijarah. Mallaby melawan aksi massa itu dengan membagi pasukan beberapa peleton sebelum masuk kota. Namun belum jauh bergerak, pasukan dihadang oleh BKR dan pemuda dengan perang terbuka. Mereka saling menembak. Bagi tentara Inggris yang kehabisan peluru harus siap tewas dikepung massa. Tentara Inggris yang menang pertempuran di Asia Pasifik menganggap peristiwa yang mengerikan seperti “telah menggangu sarang tawon”
Tentara Inggris yang berlarian akhirnya terpojok di lima gedung kawasan Jembatan Merah. Mereka harus siap mati karena gedung-gedung itu dikepung pemuda Surabaya. Mallaby yang takut pasukannya terbunuh melapor kejadian itu ke Christion di Jakarta. Christion segera melapor ke Sukarno untuk meminta aksi brutal pemuda ini dihentikan. Sukarno diminta untuk menuju Surabaya untuk menunjukan kewibawaaannya sebagai presiden di negara baru ke tengah rakyatnya. Siang hari itu juga tanggal 28 Oktober, Sukarno bersama Hatta dan Menteri Amir Sjarifoenddin terbang ke Surabaya.
Lagi lagi kewibawaan Sukarno harus diuji sejak di dalam pesawat. Saat roda masih menggelinding dan baru mendarat di Lapangan Terbang Kemayoran, sudah terdengar ledakan dan tembakan. Hujan peluru itu menerjang sayap pesawat, hingga nyaris diputuskan hendak terbang lagi oleh sang pilot. Sukarno segera keluar dari pintu pesawat sambil melambaikan bendera merah putih. Tembakan langsung terhenti. Satu persatu tampak para pemuda keluar dari tempatnya dan berjalan mendekati Bung Karno. Mereka sorak sorai melihat sang pemimpinnya menyapa.
Sukarno segera pindah ke mobil jip untuk membawa ke kota. Seorang tentara Inggris yang hendak mengawal justru ditodong oleh seorang pemuda dengan bambu runcing. Beruntung aksi liar di hadapan Hatta ini bisa dicegah. Setelah itu, jip bergerak diiringi para pemuda yang berlarian di samping kiri kanan jip. Rombongan sudah ditunggu Gubenur Jatim R Suryo. Perundingan hingga pukul 16.00 Wib sore dengan hasil kesepakatan penghentian tembak menembak. Malam harinya, Sukarno Hatta dan Menteri Amir Sjarifoeddin menginap di Gedung Negara Grahadi.
Keesokan harinya tanggal 29 Oktober, Menteri Amir Sjarifoeddin mengundang tokoh tokoh pemuda Moestopo untuk berunding. Saat itu Hatta meminta pertanggungjawaban ke Moestopo terkait aksi tembak menembak. Namun dijawab bahwa “lebih baik mati berdiri daripada dijajah kembali,”. Jawaban ini tentu tidak memuaskan Hatta. Kemudian Hatta bertanya kepada Sukarno, apa yang harus dilaukan dengan estrimis ini. Maka diputuskan bahwa Moestopo diangkat menjadi jendral namun langsung pensiun saat itu juga.
Rombongan menggelar makan malam di serambi Gedung Negara Grahadi. Serambi tersebut menghadap ke sungai, dan diseberangnya sebuah taman. Awalnya suasana sangat tenang. Namun tiba-tiba bagian rumah tangga Gedung negara Grahadi berteriak gaduh. Sebab para undangan dikejutkan dengan penemuan beberapa mayat tentara gurka yang terpenggal kepalanya mengambang di Kali Mas. Tentu saja, pemandangan tidak lajim bagi Sukarno Hatta yang selalu berjuang dengan politik gerakan dan organisasi, kini bertemu langsung dengan perjuangan aksi anarki. Makan malam itu berakhir akibat teror mayat dan dilanjutkan dengan aksi bersih bersih.
Sukarno berusaha menenangkan massa yang agresif menolak kehadiran sekutu di Surabaya. Foto.net
Keesokan harinya tanggal 30 Oktober, Hawthorn tiba di Surabaya dan bertemu dengan Mallaby, Sukarno Hatta dan menteri Amir. Sukarno punya syarat bahwa pertemuan ini harus menghadirkan para pemimpin wilayah dan pemuda. Maka pertemuan digelar di kantor Gubernuran Jalan pasar besar. Hadir pemimpin wilayah Gubernur Suryo, Residen Sudirman serta Pemuda Roslan Abdulgani yang menjadi penghubung dengan pihak Inggris. Pertemuan berlangsung selama 2 jam, membahas garis wilayah tentara Inggris mulai pesisir pelabuhan dan Pemukiman Darmo. Alasan Kawasan Darmo dibahas, sebab banyak ditempati orang-orang eropa dan menjadi tempat perlindungan terakhir selama masa Pemerintahan Jepang. Selain itu juga disepakati peran BKR yang difungsikan sebagaai polisi kota yang menjaga ketertiban dan keamanan.
Selesai perundingan, siang hari itu juga Sukarno Hatta dan Amir bertolak menuju lapangan terbang Kemayoran. Namun Sukarno merasa masih terbayang kengerian selama santap malam di Gedung Negara Grahadi. Sukarno minta pengawalan ketat menuju lapangan terbang. Selama perjalanan, mobil rombongan dikawal tentara republik agar tidak ada sabotase hingga para pemimpin bertolak ke Jakarta.
Dalam autobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, sang proklamator, Presiden Soekarno, punya kesan mendalam dengan kekacauan di Surabaya. Kekacauan terjadi karena rakyat Surabaya menolak kedatangan tentara Belanda yang ikut dalam rombongan tentara Inggris.
"Di setiap penjuru jalan terjadi perkelahian hebat satu lawan satu. Mayat bergelimpangan di mana-mana," tutur Soekarno.
"Aku berkeliling ke seluruh penjuru di mana saja pahlwan-pahlawan muda kami berada dan berbicara berhadap-hadapan muka dengan mereka. Masing-masing (dari mereka) memegang senjata dengan laras terisi dan tidak terkunci," kata Bung Karno.
"Seorang pemuda berumur kira-kira 16 tahun berdiri di dekatku, memegang senapannya tegak lurus dan menampung setiap kata yang keluar dari mulutku. Ketika aku mengatakan sesuatu, semangatnya meluap, dan Dor! Senapan terkutuk itu meletus tepat di belakang telingaku," ujar Soekarno.
Upaya Damai Gagal, Mallaby Justru Terbunuh
Upaya Soekarno dalam menenangkan rakyat Surabaya tak berbuah manis. Situasi justru kian panas. Bermula saat sekembalinya rombomgan Sukarno ke Jakarta, staf Brigjen Mallaby bermaksud membebaskan anggotanya yang sedang terjebak di 5 gedung. Kepada massa yang mengepung, staf ini meyakinkan telah terjadi gencatan senjata dan tidak ada lagi aksi tembak menembak. Namun beberapa orang yang mengepung gedung Internatio itu tidak menghiraukan amanat hasil genjatan senjata.
Bersama beberapa staf tentara Inggris dan para pemimpin wilayah, mendatangi Willemsplein. Tiba Willemsplein beberapa pemuda berusaha melucuti senjata rombongan. Orang-orang itu tidak mengijinkan Mallaby memasuki gedung, karena takut kehilangan sandra berharga yang melindungi tembakan dari dalam gedung. Kemudian Mallaby berseru dan memerintahkan komandan batalyon yang ada di dalam gedung untuk keluar karena situasi telah aman. Setelah menunggu beberapa saat, Hanya salah satu ajudan Kapten Shaw yang dipernbolehkan masuk ke gedung untuk menemui Mayor Venu K Gopal. Sementara dua orang Indonesia lain berdiri dekat mobil Mallaby untuk menjelaskan ke massa bahwa situasi sudah aman dan telah terjadi genjatan senjata.
Brigadir Jendral Mallaby
Saat Mallaby beserta Kapten Smith dan Laughland memasuki mobil yang terpakir di pinggir kali, mereka melihat beberapa pemuda menenteng senapan mesin mencoba memasuki gedung internastio. Mayor Gopal tengah berjalan keluar gedung merasa curiga dan merasa tidak aman. Segara menjawab kehadiran dua pemuda itu dengan tembakan dari dalam gedung. Tiga orang pemuda indonesia yang sebelumnya berada di sekitar mobil memilih tiarap.
Saat itu juga muncul tembakan yang saling saut menyaut. Sesaat Ketika tembakan mereda, Mallaby yang sebelumnya tiarap di lantai kembali duduk di mobil dan berbicara dengan pemuda yang bersembunyi di sekitar mobilnya. Sementara 2 periwira lainnya masih tiarap bersembunyi di lantai mobil. Melihat situasi lengah, sebuah peluru yang tidak jelas asalnya tiba-tiba menembus kepala sang Jendral. Ada darah keluar dari pimpinannya. Kapten Smith yang berada di lantai mobil berusaha melakukan perlawanan dengan melempar granat bagi penyerang di luar mobil. Namun gerakan sangat lambat, sehingga 2 pemuda tersebut bisa menghindar. Sementara granat yang terlempar dari jendela itu justru jatuh di bawah kolong dan meledak dan menghancurkan seluruh isi penumpangnya. (pul)
Author Abad
10.10.22
Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945. Di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.
Abad.id Buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” merupakan hasil kumpulan surat-surat Sutomo–nama panjang Bung Tomo–yang dikumpulkan alm Sulistina (istri) selama puluhan tahun.
“Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, semasa hidup.
Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menceritakan perjalanan kisah cintanya dengan Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Dan, cerita-ceritanya hingga kini masih relevan untuk diceritakan pada generasi muda.
Sulis menceritakan, saat itu, dia–yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang–sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.
Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itulah yang berani mendekatinya.
“Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis.
Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.
Pernikahan pun diputuskan di Jalan Lowokwaru IV/2 Malang. Banyak kawan-kawan beliau dari BPRI dan PMI (Teman-teman istrinya) yang hadir, tetapi bukan berarti mudah menjadi istri Bung Tomo karena masih diburu-buru Belanda, mereka harus pindah ke Jogjakarta.
Untuk urusan dapur beliau memang jago memasak rawon, lodeh, sayur asem, sambel goreng taoco. Bahkan beliau sendiri yang mengajari istrinya memasak. “Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah” ucap Bung Tomo kepada istrinya.
Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.
Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.
Menulis Surat Cinta
Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan.
Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.
Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina.
Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.
Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.
Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam.
“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.
Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.
Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku.
Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.
“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.
Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.
Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu
Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Menolak Dimakamkan
Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya.
Keromantisan Bung Tomo tampak dalam setiap surat-suratnya. “Tiengke” panggilan sayang untuk Sulistina selalu menghiasi kop surat. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Dalam sebuah surat yang ditulis pada 13 Maret 1951 Bung Tomo memahami bahwa istrinya sudah terlalu lama ditinggal di rumah bersama anak-anaknya. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga berpesan: “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success,”. Indahnya ucapan itu hingga Sulistina mengaku selalu tak sabar menunggu surat-surat berikutnya.
Selera humor Bung Tomo juga membuat Tiengke terpesona. Dalam satu kesempatan di 20 Maret 1951 surat Bung Tomo diterima. Dalam suratnya pria yang lahir pada 1920 itu menceritakan bahwa foto Sulistina dipuji teman-temannya dan beberapa ibu-ibu.
“Malah ono sing kanda (malah ada yang bilang) een paar’dames (beberapa ibu-ibu) memper (mirip) Ingrid Bergman! Bintang film Swedia di USA,’’ begitu petikan surat Bung Tomo.
Kemesraan yang terjalin melalui surat-surat Bung Tomo tak membuat nafas perjuangannya hilang. Dalam surat balasan kepada Bung Tomo, Sulistina pernah bertanya, kapan perang kemerdekaan ini akan selesai? Karena jarang sekali mereka berdua bertemu dan anak-anaknya selalu menanyakan kapan Bung Tomo datang.
Melihat istrinya mengeluh dengan perjuangannya yang tak kunjung berakhir, Bung Tomo menulis: “Tieng kowe tak seneni ya? Sesuk-sesuk adja sok kanda kapan telase merdeka ini, ya? Wong sedih merga ora bareng-bareng dua minggu wae kok ndukani “Merdekane”. (Tieng aku boleh marah ya? Lain kali jangan pernah bilang kapan selesainya perang kemerdekaan ini. Cuma sedih karena tidak bersama-sama dua minggu saja, kok menyalahkan “Merdekanya”).
Dukungan seorang istri atas perjuangan suami benar-benar menjadi sebuah perekat hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana tidak? Saat Bung Tomo ditahan selama setahun (1978-1979) oleh rezim Soeharto, Sulistina tak tinggal diam. Presiden pun disurati. Dalam surat itu Sulistina menyebut Pak Harto saja, tanpa embel-embel presiden.
“Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri,” protes Sulistina dalam surat itu.
Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.
Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami (59), H M. Bambang Sulistomo (57), Sri Sulistami (56), dan Ratna Sulistami (49).
Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.
Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.
Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah tepatnya di Padang Arafah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis–mertua Bung Tomo–yang meninggal dunia.
Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.
Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” ceritanya.
“Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.
Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.
Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo.
Kesetiaan Sulistina kepada Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Surat-surat Cinta Bung Tomo
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu,. Bisa Jeng menemuiku?”
“Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauuuh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk & pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.”
“Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah.”
“Waktu bebas, aku tidak mempunyai kesempatan membaca, nah sekarang kesempatan itu ada dan harus ku pergunakan. Tuhan memberi cobaan, tentu ada hikmahnya.”
“You are a hero, a patriot, a great lover sampai hari akhirmu.” @nov
*) diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
Jasa guru jelas tidak dapat kita abaikan. Dari mereka kita bisa melek ilmu pengetahuan. Untuk memperingati hari guru ini, tidak ada yang salah perlu mengenang para guru yang membuka informasi dunia.
Salah satu guru yang berjasa itu guru sekolah rakyat di 1921 di Desa Soreang Kabupaten Bandung. Ada guru sangat populer karena dedikasinya bernama Haji Muhammad Suwardji. Guru tersebut dilahiRkan tahun 1880, dan menjadi guru sekolah rakyat hingga tahun 1937. Menjadi guru sekolah rakyat juga harus bisa beradaptasi dengan kondisi sebagai warga jajahan. Haji Suwarji pernah berpindah-pindah tempat tugas, mulai mengajar di Desa Cilillin , Desa Lewo di Kota Garut, Kota Pleret kota Subang, Pulau Kalimantan dan terakhir mengajar di Batujajar hingga wafat tahun 1957.
Busana yang digunakan para guru waktu itu menyesuaikan dengan para muridnya warga pribumi. Para guru laki-laki harus menggunakan jas putih dengan kota-kotak kecil, dan kemeja lengan panjang warna putih juga dengan bahan kain kaci. Tidak lupa guru wajib menggunakana dasi kupu-kupu kecil dengan motif kotak-kota hitam. Celana panjang mengunakan bahan gabardin yang bentuknya besar besar di bagian atas, dan makin sempit pada kaki bagian bawah. Saat berangkat kerja, para guru menggunakan alas kaki tarumpah atau sandal japit dengan bahan kulit. Pada bagian tumit alas sandal itu lebih tinggi dengan bahan kulit mentah. Maka jika berjalan dipastikan terdapat suara yang keras, dan langsung didengar para murid yang sedang ramai di kelas. Namun ketika masuk kelas, para guru wajib lepas alas kakinya.
Ada yang khas para guru pada masa itu menggenakan tutup kepala. Jika suku Jawa, model blangkonnya bermotif batik lebih gelap, sementara jika suku sunda tutup kepala itu berama Bendo dengan motif batik warna lebih terang coklat muda.
Dedikasi seorang guru juga digambarkan pada sosok Raden Soekemi Sosrodiharjo ayak kandung presiden ke 1 Sukarno. Sejak lulus pendidikan guru di Probolinggo, Soekemi muda sudah harus berpindah tugas. Awalnya dia mengajar di Buleleng Bali pada tahun 1890. Dalam buku Biografi Sukarno yang ditulis Lambert Giebels, di Bali sudah berdiri sekolah rakyat pada tahun 1875. Sekolah tersebut awalnya hanya diperuntukan untuk anak-anak pegawai Belanda dan bangsawan Bali agar mendapatkan pendidikan Dasar. Selama di Bali, Soekemi tinggal di rumah kos yang dekat dengan sekolah.
Gaji menjadi sekolah guru juga sangat menjanjikan. Pemerintah Hindia Belanda sangat menghargai jerih payah guru karena dan memberi penghargaan lebih. Selama pindah dan tinggal di Jalan Pahlawan 88 Surabaya, Raden Soekemi masih mengajar di sekolah rakyat. Meneer Soekemi setiap bulan mendapatkan gaji 25 gulden perbulan. Dalam hitungan pada masa itu, 1 USD nilainya 2 gulden 50 sen. Dengan gaji sebesar itu sudah dipastikan sangat cukup untuk menghidupi keluarga dan menyekolahkan anaknya. Dari gaji 25 gulden itu, harus dipotong 10 gulden untuk sewa rumah di Surabaya. Dalam hitungan pada masa itu, sewa rumah 10 gulden sudah dipastikan sudah sangat mewah bertembok dan beratap genting tengah kota.
Namun untuk menjadi guru tidaklah mudah. Seorang harus lulus dari Kweekschool atau Sekolah Guru. Berdirinya sekolah guru di Hindia Belanda dimulai pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Sekolah guru menjadi sebuah upaya dari pemerintah Hindia Belanda untuk memajukan pendidikan untuk warga pribumi.
Politik etis pemerinah belanda kepada warga pribumi ini bukan berarti siap merugi. Tujuannya warga jajahan di buat pintar dengan mendapat materi pendidikan untuk menggantikan tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya. Tenaga terampil terutama dibutuhkan kelompok pengusaha swasta. Tenaga terampil warga pribumi ini diharapkan memiliki harga yang lebih terjangkau dari pada tenaga terampil dari bangsa Belanda dan bangsa Barat lainnya.
Pada tahun 1871, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan untuk guru bumiputra. Peraturan ini diperlukan sebagai langkah awal dari pendirian sekolah dasar bumiputra. Praresta Sasmaya Dewi dalam artikel Perkembangan Kweekschool (Sekolah Guru) di Yogyakarta Tahun 1900-1927, menyebutkan bahwa Kweekschool dibuka tahun 1852.
Salah satunya pendirian Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers (Sekolah Pelatihan Guru-guru Pribumi) di Yogyakarta yang tertera dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No. 156 tahun 1894. Pembukaan sekolah baru dilakukan pada tahun 1897. Dalam Staatsblad ini memuat informasi dari jumlah siswa, gaji direktur, pengurangan formasi tenaga pengajar, biaya alat tulis, alat peraga dan perawatan perabotan serta gaji pegawai bawahan dan para pembantu yang bekerja di Kweekschool tersebut.
Sekolah ini menerima siswa yang berusia 12 sampai 16 tahun. Syarat untuk diterima dan belajar di sekolah tersebut adalah lulus Sekolah Jawa kelas satu. Syarat lainnya adalah harus lulus ujian sejumlah materi di antaranya berhitung, berbahasa dan menulis Jawa, menulis indah, ilmu bumi dan bahasa Melayu dalam aksara latin. Ujian penerimaan tersebut dilakukan di hadapan komite sekolah oleh inspektur atau wakil inspektur yang dibantu para guru di sekolah tersebut.
Siswa yang belajar di Kweekschool ini tinggal di asrama yang sudah disediakan. Lembaga yang mengelola sekolah di masa Hindia Belanda ini menyebutkan bahwa siswa yang belajar menerima materi pembelajaran dan alat tulis secara gratis dengan masa belajar 4 tahun. Saat para siswa masuk tingkat tinggi akan diberikan materi praktik mengajar. " Pendidikan agama diberikan sebagai ekstra kurikuler, disebukan KH. Ahmad Dahlan juga mengajar untuk memberi materi tentang agama Islam pada para siswa Kweekschool," tulis Sasmaya Dewi.
Lulusan dari sekolah Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers akan mendapat gelar setara diploma. Mereka akan memulai masa dinasnya sebagai guru pembantu pada sekolah dasar Jawa kelas satu.
Memang, kehadiran Kweekschool menjadi penanda positif dalam sejarah Pendidikan di Indonesia. Kweekschool mencetak guru pribumi yang membantu memenuhi keterbatasan tenaga pengajar. Kehadiran guru dibutuhkan untuk mengimbangi munculnya sejumlah sekolah pada masa itu.
Seperti sebuah foto yang dibuat tahun 1903 ini, menggambakan mereka yang baru lulus Kweekschool (sekolah guru). Mereka sangat percaya diri setelah dilantik menjadi guru. Semua berpose dengan gagahnya. Rantai jam saku merupakan hiasan yang khas pada masa itu. siapapun yang memiliki jam dalam rantai emas bisa diketahui kelas sosialnya. Tapak juga para guru ini harus tanpa alas kaki saat berada di kelas. Semua murid calon guru akan menghormati pengajarnya, sebab mereka dididik secara keras dan tegas. Para guru ini tinggal di asrama khusus sekolah. Setiap harinya mereka dipantau langsung oleh penjaga asrama.
Digambarkan pula para pengajar di sekolah calon guru tidak kalah tegasnya. Dulu belum ada aturan tentang kekerasan dalam lingkungan sekolah. Sebab bentuk kekerasan itu pasti punya tujuan positif, yaitu mendidik disiplin. Sebab para priyayi dari berbagai daerah ini dikenal sangat manja di lingkungan keluarganya. Maka ketika masuk disekolah guru, tidak ada pilihan lain harus beradaptasi dengan budaya baru, yaitu disiplin. Para pengajar memegang cambuk dari rotan atau bambu. Cambuk ini tidak hanya untuk menakuti para murid, namun juga motivasi agar serius belajar. (pul)
Author Abad
24.11.22
Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri). Foto dok Museum Pusat Jakarta
Penulis : Pulung Ciptoaji
Abad.id-Jepara tidak hanya dikenal tempat Kartini lahir dan dibesarkan. Di kota utara provinsi Jawa Tengah ini juga dikenal tradisi mengukir sejak jaman Kerajaan Majapahit. Ada banyak versi asal muasal jepara menjadi tempat dengan tradisi ukirannya itu.
Dalam buku risalah ukir Jepara, versi pertama mengisahkan pada jaman kerajaan Majapahit, prabu Brawijaya memiliki seorang ahli ukir yang dipercaya bernama prabangkara. Suatu saat setelah permaisuri meninggal dunia, raja meminta Prabangkara membuat patungnya. Dalam beberapa saat patung tanpa busana tersebut dibuat dengan sangat miripnya. Namun tanpa sengaja seekor lalat hinggap di dada patung itu. Ketidaksengajaan ini membawa bencana bagi Prabangkara. Rupanya raja curiga karena Prabangkara membuat patung yang sangat persis, termasuk letak tanda tahi lalat di sekitar dadanya. Sebagai hukuman, Prabangkara diikat di sebuah layang layang besar dan diterbangkan. Setelah terbang talinya diputus dan Prabangkara terbah sangat jauh mengikuti angin. Hingga akhirnya layang layang tersebut jatuh di Belakanggunung tempat lahirnya seni ukir Jepara.
Ada versi lain, yaitu pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (abad XV) hiduplah seorang patih bernama Sungging Badarduwung yang berasal dari negeri Campa. Patih ini memiliki keahlian mengukir batu. Ketika Sultan Hdiri suami ratu beraksud mendirikan masjid Mantingan, sang patih diminta bantuan membuat ukiran di serambi masjid. Ukiran patih ini hingga sekarang masih dapat dilihat di majid Mantingan. Daerah Mantingan dekat dengan Belakanggunung, sehingga banyak warga yang meniru tehnik cara mengukir. Beberapa warga itu membentuk kelompok pengukir yang bertugas untuk melayani kebutuhan ukir. Semakin hari kelompok ini berkembang, hingga semakin banyak warga tetangga desa ikut belajar mengukir. Namun, sepeninggal Ratu Kalinyamat, perkembangan mereka terhenti. Baru muncul kembali setelah keluarga Kartini kembali mengembangkan seni ukiran Jeoara.
Ada juga versi ketiga, yaitu sejak runtuhnya kerajaan Majapahit mengakibatkan para seniman ukir kerajaan tercerai berai. Dalam perkembangannya ada yang menetap di Jepara dan mengembangkan seni ukir di desa Belakanggunung.
Kartini Ikut Mengembangkan Ukiran Jepara
Jauh sebelum Kartini lahir, ukiran Jepara sudah tumbuh dan bekembang. Namun bersifat lokal dan dipasarkan sekitar Jepara. Saat Kartini muda dan mengenal pendidikan ala Belanda, mulailah memikitkan cara mengangkat harkat para perajin ukiran. Kartini heran, siapa yang menuntun anak-anak yang biasa bekerja di sawah tapi saat bekerja membuat ukiran menghasilkan karya yang baik dan indah. Bagaimana mungkin di tempat yang sederhana dan jauh dari dunia gemerlap, tapi bisa menghasilan karya yang mengisi gemerlapnya dunia.
Sejak dahulu ukiran Jepara memang sangat terkenal, dan bisa dijumpai dalam bentuk perabotan rumah. Mulai kursi, tempat tidur, almari hingga hiasan tembok. Alat alat membuat ukiran itu sangat primitif, hanya tatah dan palu kayu. Dengan dasar inilah, Kartini ingin mengangkat derajat ukiran Jepara.
Kartini kemudian menulis sebuah prosa berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan. Prosa ini bercerita tentang tanah kelahirannya, yang mempunyai banyak seniman ukir sejati. Tapi ironisnya, telah dilupakan orang dan kerja mereka tidak mendapatkan penghargaan yang berarti. Kartini juga menghubungi beberapa sahabat orang Belanda di Semarang dan Batavia agar Oost en West, atau asosiasi kerajinan tangan di Hindia ikut membantu membangkitkan kembali kejayaan ukir Jepara..
Kartini berharap lembaga tersebut ikut membantu mempromosikan produk kerajinan seni ukir Jepara, di luar negeri maupun di dalam negeri. Kartini juga memberikan supervisi kepada para perajin ukir dari Blakanggunung untuk membuat berbagai macam furnitur dan kerajinan untuk dipasarkan ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda. Kartini juga mengirim banyak contoh barang hasil kerajinan ukir Jepara ke mana-mana. Bahkan mengirimkan hadiah ulang tahun kepada Sri Baginda Ratu Wilhelmina, saat orang nomor satu di negeri Belanda itu memasuki usia 24 tahun.
Botekan (tempat jamuan jamu) milik Kartini yang kini masih berada di rembang
Akhirnya kerja keras Kartini terjawab, setelah lembaga ‘’ Oost En West’’ berjanji membantunhya. Pada tahun 1898, Kartini semakin sering berhubungan dengan lembaga itu. Kemudian Kartini mendatangi Singowirio, pengukir paling terkenal di desa Belakanggunung yang ahli membuat ukiran macan kurung. Kartini menunjuk Pak Sing, panggilan akrabnya sebagai pemimpin para tukang yang kemudian dikumpulkan di samping Pendopo kabupaten Jepara. Sejak itulah di dekat pendopo kabupaten Jepara selalu terdengar hiruk pihuk orang menatah kayu yang dipesan Kartini. Produk yang dipesan mulai tempat jahitan, tempat rokok, tempat jamu, meja tulis, pigura cermin. Pak Sing dan beberapa pengukir senior lainnya mengawasi dengan cermat pekerjaan anak buahnya. Setelah pekerjaan selesai, Kartini mengirimkan barang barang itu ke Oost En West’ untuk dipasarkan di Semarang, Batavia dan dikirim ke Belanda.
Dengan cara begitu, harga ukiran Jepara bisa meningkat sesuai dengan keindahan, kerumitan desain dan jerih payah pembuatnya. Uang hasil penjualan diberikan kembali ke pembuat dan hanya dipotong ongkos kirim. Hal ini sangat menggembirakan para tukang ukir. Terlebih lagi bagi Kartini sendiri. Ungkapan itu dituis dalam surat kepada sahabatnya EC Abendanon, “ Horee untuk kesenian dan kerajinan rakyat kami, hari depanmu pasti akan gemilang. Aku tak dapat mengatakan betapa girang dan bahagianya aku. Kami mengagumi rakyat kami. Kami bangga atas mereka. Rakyat kami yang kurang dikenal, karena itu pula kurang dihargai ...Hari depan kaum seniman Jepara sekarang terjamin.,”
Sejak saat itu perajin ukir Jepara mendapat banyak pesanan. Ayah Kartini misalnya, sengaja memesan ukiran penyekat ruangan yang diletakan di Pendopo kabupaten Jepara. Namun penyekat ruang ini dipindah ke Rembang saat Kartini diboyong suaminya Bupati Rembang. Setelah hampir berumur 1 abad, penyekat sepanjang 50 meter itu masih berdiri kokoh menghiasi pendopo Kabupaten Rembang. Penyekat ini berukir garuda yang tengah mengembangkan sayab, berhiasan bunga dan daun yang merambat.
Jika melihat penyekat berukir indah itu, sepertinya Kartini ikut pula memikirkan desainnya. Kartini juga ikut memikirkan desain baru yang belum pernah ada dibuat pengukir. Motif yang terkenal di Jepara mulai daun trubusan yang terdiri dari dua macam. Pertama, daun yang keluar dari tangkai relung. Kedua, daun yang keluar dari cabang atau ruasnya. Ukiran Jepara juga terlihat dari motif jumbai yakni daunnya akan terbuka seperti kipas lalu ujungnya meruncing. Ada juga tiga atau empat biji keluar dari pangkal daun. Selain itu, salah satu ciri khasnya tangkai relung yang memutar dengan gaya memanjang dan menjalar membentuk cabang-cabang kecil untuk mengisi ruang dan memperindahnya.
Momen penting yang selalu diingat Kartini saat dirinya membuat desain tentang gambar wayang. Awalnya banyak tukang tidak mau memenuhi permintaan ini. Sebab mereka takut terkutuk dengan sakralnya wayang. Baru setelah RM Sostroningrat ayah Kartini meyakinkan, akhirnya dibuatlan ukiran model wayang. Ukiran desain wayang masih bisa dilihat di kotak tempat jahitan yang ada di ruang Pengabdian RA Kartini di Rembang. (pul)
Author Abad
20.11.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Abad ke-15 menandai titik balik penting dalam sejarah maritim. Columbus mencapai Amerika pada tahun 1492, dan sekitar enam tahun kemudian Vasco da Gama, mengitari Tanjung Harapan, tiba di Calicut di pantai Malabar, India. Awal abad ini pemerintahan Kaisar Ming Yung Lo, China ikut berkontribusi pada sejarah maritim. Yaitu dalam catatan perjalanan laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal sebagai Kasim Tiga Permata.
Pada abad pertengahan itu orang Tionghoa dikenal sebagi pelaut pemberani. Kapal jung mereka berhasil mengarungi lautan timur dan memiliki ukuran dan kemegahan yang mengagumkan. Bahkan ukurannya jauh lebih besar daripada kapal mana pun yang pernah dibuat di dunia barat. Kekuatan angkatan laut China tersebut mencapai puncak terbesarnya dengan pelayaran Laksamana Cheng Ho. Armada melakukan perjalanan dari Vietnam ke timur tengah. Namun beberapa tahun kemudian setelah ekpedisi pertama, Kaisar Ch'eng-Tsu melarang pelayaran lebih lanjut, sehingga kekuatan angkatan laut berkurang. Kebijakan ini menciptakan kemunduan pengaruh China dan penurunan ekonomi dan politik dalam waktu yang panjang.
Sosok Laksamana Cheng Ho memulai hidupnya sebagai Ma Ho, lahir tahun 1371 di provinsi selatan Yunnan. Yunnan sebelumnya merupakan pusat kerajaan Nan Chao, yang merupakan masyarakat militeristik kuat yang melawan dominasi Tiongkok selama ratusan tahun. Namun berhasil dihancurkan oleh bangsa Mongol di bawah Kublai Khan pada tahun 1250-an. Untuk menenangkan wilayah yang terbentang di dataran tinggi pegunungan di perbatasan Tibet hingga Xishuangbanna di pinggiran Burma dan Laos ini, Mongol menempatkan banyak pasukan dan menempatkan banyak orang Muslim di sana. Ma Ho berasal dari salah satu keluarga ini. Dia menjadi terkenal sebagai seorang militer sekaligus seorang terpelajar.
Masjid Laksamana Cheng Ho di Surabaya. Foto Pulung
Selama Ma Ho naik pangkat, Tiongkok menderita kemunduran militer yang berdampak mengurangi reputasinya dan rasa takut serta rasa hormat dari negara lain. Pembalikan ini berperan penting dengan penciptaan pelayaran ekpedisi dalam jumlah besar dan melibatkan tenaga dan sumber daya dalam waktu yang lama. Maka diperlukan persiapan ekpedisi dengan biaya besar dan intrik politik. Kapal-kapal mulai dibangun di 'Treasure-ship Yard' yang terletak di barat laut Nanking dekat sungai Yangtze. Kapal-kapal itu dirakit menjadi armada dengan banyak pengorbanan dan doa kepada dewi T'ien Fei, pelindung para pelaut.
Dari sana mereka berlayar ke selatan dan mengitari pesisir China selatan, Vietnam, Thailand, sebagian Malaysia modern dan Indonesia, dan terus ke barat dengan India dan Arab. Secara keseluruhan, lima pelayaran diselesaikan dan Laksamana Cheng Ho menjadi sangat terkenal. Karena diplomasinya yang tegas dan adil. Juga penghargaannya terhadap penduduk setempat dan adat istiadat menjadi catatan penting di setiap daerah yang disinggahi. Sejarah pelayarannya disusun oleh Ma Huan, namun sedikit diketahui selain pekerjaan resminya sebagai penerjemah. Khususnya kemampuannya dalam bahasa Arab dan Persia yang menunjukkan Ma Ho seorang Muslim yang taat.
Selain mendapatkan kesuksesan besar pelayaran itu, ekpedisi Laksamana Cheng Ho juga mendapatkan informasi serta prestise yang tak ternilai untuk kaisar Ming. Namun keputusan kaisar bebanding terbalik dengan harapan para peserta ekspedisi, sebab lebih memilih mengalihkan perhatiannya ke tempat lain dan kegiatan ekpedisi berikutnya dibatalkan. Mungkin kaisar memandang dunia luar tidak tertarik melihat China. Maka kekuasan asing belum menjadi ancaman edaulatan China.
Ekpedisi Laksamana Cheng Ho Berhasil Menggelorakan Islam
Dari tahun 1405 sampai 1433, selama ekspedisinya ke luar negeri, apakah Cheng Ho ikut menyebarkan Islam?. Meskipun tidak ada catatan yang relevan dalam arsip sejarah di China, banyak catatan dan kisah di negara-negara Asia Tenggara yang disinggahi Cheng Ho membantu penyebaran Islam.
Peran Cheng Ho dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara merupakan bagian tak terpisahkan dari pertukaran budaya antara China dan Asia Tenggara. Aktivitas Cheng Ho dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di Asia Tenggara, perlu diperkenalkan secara singkat latar belakang Islam.
Menurut B.W. Andaya, seorang cendekiawan Selandia Baru, dan Ishii Yoneo, seorang cendekiawan Jepang, Cheng Ho sempat singgah di Sumatera bagian utara, paling dekat dengan India dan jantung Islam, tempat Islam mendirikan pantai pertamanya di Asia Tenggara. Menurut Ensiklopedi Indonesia, Islam pertama kali diperkenalkan pada abad ke-13 ke Sumatera bagian utara melalui pedagang dari Persia dan dari Gujarat di India Barat. Alasan ini didasarkan pada nisan raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang wafat pada tahun 1297, terukir “Sultan Malik As Shalih” dan beberapa kata lain yang menunjukkan keyakinanan Islam. Batu nisan tersebut didatangkan dari Cambay yang terletak di Gujarat. Hal ini menunjukkan bahwa Islam masuk ke Kerajaan Samudra Pasai dari Gujarat pada tahun 1292.
Akan tetapi, sarjana lain berpendapat bahwa pada abad ke-7 dan ke-8, sudah banyak pedagang Arab pergi ke Sumatera Utara, berbisnis sambil menyebarkan Islam. Sementara sebagian umat Islam di Indonesia berpendapat bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia dari China. Misalnya, Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum Nahdatul Ulama itu pernah mengklaim bahwa Islam pertama kali disebarkan ke Nusantara oleh Muslim Tionghoa. Serta Nurcholish Madjid, seorang cendekia muslim mengajukan pandangan lain, yaitu Islam mungkin telah menyebar ke Indonesia dari anak benua India atau Arab selatan melalui benua China.
Menurut arsip sejarah, Kerajaan Samudra Pasai didirikan sebagai kerajaan Islam pertama di Sumatera pada abad ke-13 dan menjadi pusat Islam di wilayah tersebut. Pada tahun 1292, ketika Marco Polo, seorang penjelajah Italia, kembali dari Tiongkok ke Italia, ia singgah di Sumatera bagian utara dan menemukan banyak penduduk di sana sudah memeluk Islam.
Maka kemungkinan kedatangan ekpedisi Cheng Ho di Indonesia dapat diklasifikasikan tujuannya. Pertama, Cheng Ho berdoa di masjid-masjid di wilayah tersebut dan membangun masjid di Jawa. Seorang peneliti Mangaradja Onggang Parlindungan yakin kejadian itu pada tahun 1413. Buktinya armada yang dikirim oleh pemerintah Ming tinggal di Semarang selama sebulan penuh untuk perbaikan. Tiga komandan Cheng Ho, Ma Huan, dan Fei Xin sering berdoa di masjid Tionghoa di Semarang.
Namun setelah kematian Cheng Ho dan berakhirnya masa kejayaan maritim, komunitas Islam Tionghoa berhenti berintegrasi dengan masyarakat lokal dan mengubah masjid yang dibangun Cheng Ho dan para pengikutnya itu menjadi kuil. Dalam legenda setempat, Cheng Ho membangun sebuah masjid didekat gua di Semarang yang dekat dengan tempat tinggalnya. Jika semua catatan sesuai dengan fakta sejarah, dapat dikatakan bahwa Cheng Ho dua kali mengunjungi Semarang, yaitu pada tahun 1411 dan 1413.
Masih catatan Mangaradja Onggang Parlindungan, bahwa Cheng Ho mendirikan komunitas Muslim Tionghoa di Asia Tenggara. Pada tahun 1407, armada tersebut berperang dan merebut Kukang (Palembang), yang dikuasai orang Tionghoa non-Muslim dari provinsi Fujian. Mereka menangkap Chen Zuyi, kepala bajak laut dan mengirimnya di bawah pengawalan ke Beijing. Setelah itu, komunitas Tionghoa Hanafiyah pertama di Indonesia dibangun di palembang, dan pada tahun yang sama, komunitas Tionghoa Muslim didirikan di Sambas, Kalimantan. Pada tahun 1416, Cheng Ho membangun komunitas ketiga, di barat laut Sumatera dekat muara Batanggadis.
Cheng Ho menugaskan beberapa Muslim Tionghoa perantauan untuk menjadi pemimpin komunitas Tionghoa di negara tujuan. Tugas ulama ini sangat penting dan memainkan peran dalam menyebarkan Islam. Menurut Parlindungan, pada tahun 1419, Cheng Ho menunjuk Bong Tak Keng, seorang penduduk di Champa yang merupakan keturunan pendatang dari Yunnan, untuk memerintah semua komunitas Muslim Tionghoa di sepanjang garis pantai Asia Tenggara. Pada tahun yang sama, Gan Eng Tju dipercaya oleh Bong Tak Keng untuk menguasai pemukiman Tionghoa
Ada kisah lain yang tidak terdokumentasikan dalam ekpedisi Cheng Ho ini. Sehingga hanya bisa menganalisa kebenaran kisah tersebut dengan legenda lokal. Misalnya yang dikutip dari penelitian Amin Budiman. Ketika Cheng Ho sedang berlayar menyusuri pantai utara Jawa, Wong Jinghong salah satu orang kepercayaannya tiba-tiba jatuh sakit dan tidak dapat melanjutkan pelayaran. Akhirnya dia diputuskan tetap tinggal di Jawa. Selama di Semarang, Wong Jinghong mengajar penduduk lokal dan migran Tionghoa untuk bertani dan berbisnis. Sarjana asing lainnya berpendapat bahwa Wang sengaja ditinggalkan di Semarang hingga ekspedisi kelima. Selama dan menetap di Jawa, Wong menyebarkan Islam sampai kematiannya pada usia 78 tahun. (pul)
Pulung Ciptoaji
26.11.22
abad.id-Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.
Abad.id Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.
Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.
Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.
Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.
Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.
Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.
Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.
Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.
Terinspirasi Sang Ibu
Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.
Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.
Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.
Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.
Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.
Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.
Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Karya Monumental
Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.
Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”
Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.
Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.
Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.
Daftar Buku Pram yang Dilarang
Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.
Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:
Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)
Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)
Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)
Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)
Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)
Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)
Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)
Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)
Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)
Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)
Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)
Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)
Modern Korea (Kim Byong Sik)
Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)
Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)
Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)
Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)
Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal
The Indonesian Tragedy (Brian May)
Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)
Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)
Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)
Permesta, Kandasnya Cita-Cita
Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda
The Devious Dalang
Heboh Ayat-Ayat Setan
Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno
Pesona Seks Wanita
Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan
Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung
Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)
Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)
Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco
Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)
Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)
Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen
Kristus dalam Injil dan Al Quran
Wajah Dunia Islam Kontemporer
Tanah untuk Rakyat
Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)
Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20
Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang
Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)
Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)
Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)
Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)
Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (nov)
*Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
Penulis : Pulung Ciptoaji
abad.id-Tepat pukul 10 kurang 5 menit Hatta datang ke rumah Sukarno jalan Pegangsaan Timur 56. Di dalam buku memoarnya, Hatta mengatakan semua orang tahu bahwa saya seorang yang tepat waktu. Jadi tak seorangpun yang kawatir , bahwa saya akan terlambat. Sukarno sangat paham soal itu, jadi dia tidak alasan untuk kawatir.
Hari itu tanggal 17 Agustus 1945, tepat para pemimpin pergerakan memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan sigap, dua pemimpin bangsa Sukarno dan Hatta maju ke depan mimbar untuk membacakan sebuah naskah proklamasi yang sangat sederhana. Bahkan upacara tersebut juga paling sederhana di dunia. Dengan serak, Sukarno membacakan dua kalimat yang telah diketik Sayuti Melik. Secara spontan seorang perwira anggota polisi militer bernama Kaptem Latief yang ikut hadir mengerek bendera merah putih di tianng bambu yang juga sangat sederhana. Tiang bambu ini ditancapkan Riwu pagi hari, seorang pembantu yang ikut keluarga Sukarno sejak keluarga tersebut dibuang di Ende. Sambil bendera berkibar, para hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kali ini dengan refein Indonesia raya merdeka, merdeka dan bukan Indonesia raya mulia-mulia seperti jaman Belanda.
Berita koran tentang Indonesia telah merdeka. Foto dok 30 tahun Indonesia merdeka
Banyak para hadirin yang ikut hanyut terharu. Sebab perjalanan panjang menuju merdeka penuh dengan perseteruhan, pertumpahan darah dan kesedihan kehilangan. Termasuk Riwu yang mengaku terbayang-bayang Bu Ingrit saat bendera itu berkibar. “ Mestinya yang harus hadir saat itu Ibu Inggrit, sebab sejak awal dia yang ikut membantu perjuangan menuju kemerdekaan,” kata Riwu seperti yang ditulis dalam buku Lambert Giebels.
Tugas pemuda Riwu ini belum seleai. Sebab penyakit Malaria yang diderita Sukarno saat itu membuatnya harus banyak istirahat. Selanjutnya Riwu diminta untuk mengumkan ke warga Jakarta tentang kemerdekaan bangsa Indonesia. “ Wu, kita harus membantu menyiarkan berita ini di Jakarta, bahwa sekarang kita sudah merdeka,” Kata Sukarno di tempat tidur.
Ribu bergegas menuju kebun. Diambilnya sebuah bendera merah putih lalu diikat di sebuah tongkat. Kali ini kabar Indonesia telah merdeka harus digelorakan ke seluruh warga Jakarta. Namun bagaimana caranya. Beruntung ada beberapa pemuda yang masih menunggu kelanjutan proklamasi di rumah Pegangsaan Timur 56. Mereka Sartono dan Sutwoko. Bersama mereka, Riwu keliling kota naik mobil bak terbuka. Diatas mobil itu, mereka berteriak penuh semangat melewati menteng sampai ke pasar ikan dana ke jatinegara. “Merdeka, merdeka. Sekarang Indonesia telah merdeka. Sukarno dan Hatta baru saja memproklamasikan kemerdekaan,” kata Riwu.
Aksi tiga orang ini benar benar nekat dan tidak takut ditangkap kempetai. Padahal di sepanjang jalan yang dilewati banyak tentara Jepang memperhatikan. Mungkin diantara tentara Jepang itu juga belum mendengar kabar tentang kemerdekaan, atau mungkin juga tidak ada perintah apapun dari komandan. Sebab yang dipahami hanya diperintah mempertahankan status qua Indonesia.
Aksi tiga orang ini tentu membuat banyak orang penasaran. Sejumlah orang yang mendengar pengumuman kemerdekaan berbondong bondong menuju ke rumah Sukarno di Pegangsaan Timur Jakarta Nomor 56. Disana mereka saling bertanya. Beruntung beberapa pamlet teks proklamasi masih tersisa sehingga bisa menjelaskan penasaran warga. Beberapa ibu-ibu dan remaja putri menuju dapur dan membawa bahan makanan secara swadaya. Mereka membantu ibu Fatmawati menyiapkan selamatan nasi tumpeng. Tentu saja sambil menunggu tanda beduk magrib dari masjid, untuk dimakan saat berbuka puasa nanti. Tepat saat adhan magrip beberapa orang memilih mencari masjid terdekat, sementara sebagian menyantap nasi tumpeng bersama sebagai ucap syukur. Selanjutnya mereka sholat berjamaah di kebun depan rumah. “Sungguh begitu bersahaja dan sederhana proklamasi di negeri kami,” kenang Riwu.
Senja itu makin gelap. Suasana rumah Pegangsaan Timur 56 masih dipenuhi beberapa pemuda. Mereka berdiskusi tentang bagaimana cara menyebarkan kabar proklamasi ini agar bisa didengar di seluruh nusantara. Maka satu satunya cara yaitu melalui radio, mengabarkan melalui berita koran dan menyebarkan langsung melalui pamlet-pamflet. Malam itu Riwu mendapatkan tugas pergi ke percetakan Bukanfu, yang masih menjadi wewenang Laksamana Maeda. Tugasnya mengambil pamfelt naskah proklamasi kemerdekaan yang sudah dicetak. Sebab besok paginya akan disebar di seluruh penjuru jakarta.
Setelah terkumpul relawan pemuda, pagi itu tanggal 18 Agustus 1945 semua mulai bergerak. Riwu menadatangi stasiun dan terminal. Pamflet dibagikan ke setiap calon penumpang agar disebarkan ke daerah asal. Semua bersuka ria saat membaca pamlet itu. ada yang saling berpelukan, ada yang menangis dan penuh semangat percaya diri sebagai bangsa yang sudah tidak dijajah oleh siapapun. Cara lain yaitu menyebatkan berita ke luar pulau melalui radio. Cara ini butuh orang-orang nekat, sebab semua radio dikuasai orang-orang Jepang.
Kantor berita Domai dijaga ketat tentara Jepang. Kini berubah menjadi kantor berita Antara. Foto 30 tahun Indonesia merdeka
Salah satu pria nekat itu bernama Ronodipuro. Dia telah mencatat jalannya proklamasi 17 Agustus 1945 yang penuh drama. Untuk siaran di radio ini harus ijin kompetai. Tanpa ijin sangat mustahil. Sebab tidak ada seorangpun yang boleh masuk di situasi tentara Jepang yang sedang labil. Pernah siang itu, beberaa mahasiswa kedokteran Salemba nekat menyelinap masuk sambil membawa teks proklamasi. Namun salah seorang diantara mereka menimbulkan gaduh karena senjatanya terjatuh. Kempetai langsung menangkapnya. Tanpa banyak bicara keduanya langsung ditendang keluar gedung. Beruntung saja mereka tidak dipancung. Hanya saja naskah teks yang hendak dibaca direbut para kompetai itu.
Pasca kejadian, prajurit tentara Jepang semakin memperketat penjagaan di sudio radio. Paling ketat penjagaan di kantor berita Jepang Domai. Disitu tentara Jepang bersenjata lengkap hilir mudik dan keluar masuk studio. Sementara di luar gedung, sejumlah pemuda bergerombol seperti sedang merencanakan sesuatu untuk menguasai studio. Saat matahati mulai terbenam, beberapa pemuda membubarkan diri. Dipikirnya mereka pergi untuk menjalankan ibadah sholat atau berbuka puasa. Namun ternyata tidak. Bagi seorang wartawan bernama Syahrudin yang kantornya dibelakang radio Domai, waktu lengah itu digunakan untuk menyelinap dengan memanjat tembok. Bersimbah peluh karena antara takut dan kesulitan memajat tembok. Setelah itu bertemu dengan Ronodipuro dan membawa pesan dari Adam Malik bahwa teks proklamasi ini harus segera dibacakan. “Ah..., jauh jauh sampai memanjat tembok hanya untuk membawa pesan, tapi melaksanakannya tidak gampang,” kata Ronodipiro.
Akhirnya mereka membuat siasat lagi. Sebab orang - orang Jepang ini makin mengamankan kabin-kabin mickrofon radio. Mereka sudah mendengar kabar bahwa siaran berbahasa Inggris telah dihentikan sejak tanggal 15 Agustus 1945. Waktu siaran biasanya pukul 19.00 malam. Berarti jam yang biasanya diisi program bahasa Inggris pasti kosong, dan studio luar negeri minim penjagaan.
Dengan kemampuan beberapa teknisi, beberapa pemuda mengutak atik jaringan dan memindahkan ke frekwensi dalam negeri. Tepat waktu berita pukul 19.00 malam, pertama kalinya Ronodipuro bersama Suprapto membacakan teks proklamasi kemerdekaan serta mengumumkan kepada publik bahwa bangsa Indoenesia telah merdeka.
Selang beberapa jam kemudian, seorang tentara Jepang masuk studio dan berusaha menghentikan siaran tersebut. Saat itu Ronodipuro sedang berbincang tentang kemerdekaan dengan Bachtar Lubis. Keduanya langsung kaget atas kedatangan tentara jepang sambil membawa samaurai. Tanpa ada penjelasan apapun, keduanya dihajar habis habisan. “Kapten Kempetai itu begitu berang sampai menghunus pedangnya dan mengarahkan ujungnya ke leher saya,” kata Ronodipuro mengenang kejadian itu.
Beruntung tidak lama kemudian kepala studio seorang berkebangsaan Jepang datang melerainya. Letnan Kolonel Tomobachi dikenal tidak pernah bermusuhan dengan para pemuda, sehingga dengan penjelasannya Ronodipuro dan Bachtar Lubis bebas. Mereka hanya disuruh pergi.
Sejak peritiwa itu berita proklamasi semakin longgar untuk disampaikan di radio Domai. Tentara Jepang memang menguasai semua radio di seluruh kepulauan nusantara. Tujuannya untuk propaganda serta demi kepentingan koordinasi tentara. Radio Jepang saling terhubung dalam satu jaringan, sehinggal langsung terdengar di pelusuk pelosok. Tokoh kemerdekaan asal Aceh Teungku D Hafaz mendengar berita kemerdekaan malam itu juga saat berada di Medan. Teungku D Hafaz langsung menggelar sujud syukur dan menggelorakan proklamasi dari masjid ke masjid. Malam itu juga kota Medan penuh kegembiraan dan rasa syukur. Begitu pula seorang pendengar lain dari Manado. Malam itu juga di Manado digelar pesta rakyat. Berita ini bisa diteruskan hingga ke luar negeri. Wartawati SK Trimurti menjelaskan pada tanggal 18 Agustus 1945, sebuah kantor berita Amerika di San Fransisco telah memberitakan kemerdekaan sebuah negara baru di Asia Tenggara bernama Indonesia.
Jepang kemudian menyegel kantor berita Domai tanggal 20 Agustus 1945. Tapi para pemuda tak kehilangan akal. Ronodiputro memimpin membuat pemancar baru di markas aktivis Menteng 31. Tim ini dibantu teknisi radio Sukarman, Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Perjuangan lain juga dilakukan para pemuda lewat surat kabar, poster dan pamflet. BM Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang berjuang menggelorakan berita berita kemerdekaan melalui surat kabar. Sementara rekan-rekan mereka menempelkan poster di mana-mana. Mereka juga mencoreti kereta api dengan tulisan-tulisan yang menggambarkan kemerdekaan Indonesia. (pul)
Pulung Ciptoaji
20.12.22
abad.id-Kemampuan Bung Karno dan Pak Harto sejajar. Keduanya menguasai 8 unsur alam. Makanya ketika memimpin, mereka bisa disegani atau bahkan ditakuti. Ilmu keduanya kini diperebutkan banyak orang.
Abad.id Nama Bung Karno dan Pak Harto bukan hanya populer seantero Nusantara, tetapi juga ke penjuru dunia. Meski orang Eropa dan Amerika belum pernah ke Indonesia, mereka pasti tahu nama Sukarno dan Suharto.
Kehebatan linuwih kedua sosok ini banyak diakui kalangan spiritual dan budayawan. Kemampuan keduanya bahkan tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Sebab sama-sama pemimpin Indonesia yang disegani dunia.
Menurut Gus Putro, budayawan asal Jawa Timur, Bung Karno dan Pak Harto adalah pemimpin yang suka menjalani laku prihatin. Mereka suka blusukan ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi orang untuk melakukan ritual.
“Tidak banyak orang memiliki ilmu Bung Karno dan Pak Harto. Kedua memiliki banyak ilmu. Tapi ada satu ilmu yang dimiliki keduanya yang tidak dimiliki banyak orang. Ilmu itu bernama Hasta Brata,” kata pendiri sekaligus pimpinan Padepokan Laskar Sambernyowo.
Konon, siapapun orang yang memiliki ilmu Hasta Brata, mereka dapat menguasai segalanya. Orang yang memiliki ilmu ini, lanjut Gus Putro, dapat menguasai 8 unsur alam, yakni bumi, langit, angin, samudera, rembulan, matahari, api, dan bintang. Orang yang sanggup menguasai 8 unsur alam, mereka dengan mudah menguasai ilmu-ilmu lain.
Kemampuan Bung Karno dan Pak Harto sebenarnya kemampuan tiban. Mereka mendapatkan kemampuan tanpa belajar. Seperti ketika Sukarno kecil sakit. Setelah sehat, datanglah kakek Sukarno, Hardjodikromo yang tinggal di Kota Tulungagung. Sang kakek melihat ada sesuatu yang lain pada diri Sukarno kecil. Kakek Sukarno adalah seorang linuwih. Ia bisa menjilati bara api pada sebuah besi yang menyala. Di situ dia melihat ada kekuatan besar dalam diri Sukarno. Menurut Hardjodikromo, kelak Sukarno akan menguasai 8 unsur alam.
Demikian pula dengan Suharto. Ketika seorang guru spiritual bernama Rama Marta bertemu Suharto, dia langsung membaca tanda-tanda itu dan berkata, “Lha iki jago wirig kuningku (lha ini jago aduanku datang).”
Dalam budaya Jawa, wirig kuning adalah ayam jago dengan kaki serta paruh berwarna kuning, dan dikenal tangguh dalam bertarung. Itulah tanda-tanda bahwa Suharto bakal menjadi pemimpin hebat.
Baik Bung Karno dan Pak Harto, keduanya sama-sama memiliki ilmu tinggi. Keduanya juga mampu menguasai 8 unsur alam. Sehingga, mereka pun kadang terlihat saling segan. Itu bisa diketahui saat Bung Karno menyebut nama Pak Harto tiga kali.
“Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau Suharto, Tidak Juga engkau Suharto….” kata Bung Karno sambil tangannya menunjuk-nunjuk ke arah barisan para jenderalnya.
Ada apa dengan kekuatan Suharto? Ini menegaskan bahwa keduanya sama-sama tahu akan kedigdayaan masing-masing.
“Bung Karno dan Pak Harto menguasai 8 unsur alam. Makanya ketika memimpin, mereka bisa disegani atau bahkan ditakuti. Setiap ucapan mereka selalu diikuti banyak orang. Jika marah, kemarahan mereka bisa menggoncangkan dunia. Bukankah hal itu pernah dilakukan Bung Karno ketika dia marah terhadap AS (Amerika Serikat). Dan pihak AS pun dibuat mati kutu,” tambah Gus Putro yang kini berdomisili di Nganjuk.
Karenanya ilmu Hasta Brata ini banyak diburu dan diperebutkan, terutama oleh kalangan pengusaha hingga politisi. “Hasta Brata itu ilmu kuno. Tidak banyak orang menguasainya. Sampai sekarang banyak diburu orang,” tuturnya.
Dalam tradisi Jawa, dikatakan Gus Putro, ilmu adalah hasil dari laku prihatin, misalnya lewat puasa dan bertapa, yang mewujud dalam bentuk benda-benda, seperti cincin, ikat kepala, keris yang memiliki bahkan merasuk dalam tubuh yang empunya. Itulah kasekten. Sesuatu yang membuat orang menjadi sakti, berilmu.
“Nah, orang yang menguasai Hasta Brata, dalam ajaran Jawa Kuno disebutkan orang tersebut dapat menaklukkan hati manusia. Ajaran Hasta Brata ini dipercaya dimiliki oleh para pemimpin Jawa, untuk memerintah di tanah Jawa Kuno ini,” urainya.
Gus Putro mencontohkan, dulu ada Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau nama aslinya Raden Mas Said yang oleh Belanda diberi julukan Pangeran Sambernyawa karena di dalam peperangan R.M. Said selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.
RM Said berperang sepanjang 16 tahun melawan kekuasaan Mataram dan Belanda. Selama tahun 1741-1742, ia memimpin laskar Tionghoa melawan Belanda. Kemudian bergabung dengan Pangeran Mangkubumi selama sembilan tahun melawan Mataram dan Belanda, 1743-1752. Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 sebagai hasil rekayasa Belanda berhasil membelah bumi Mataram menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta, merupakan perjanjian yang sangat ditentang oleh RM Said karena bersifat memecah belah rakyat Mataram.
Selanjutnya, ia berjuang sendirian memimpin pasukan melawan dua kerajaan Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I (yaitu P. Mangkubumi, pamannya sekaligus mertuanya yang dianggapnya berkhianat dan dirajakan oleh VOC). Selama kurun waktu 16 tahun, pasukan Pangeran Sambernyawa melakukan pertempuran sebanyak 250 kali.
Dalam membina kesatuan bala tentaranya, Said memiliki motto tiji tibeh, yang merupakan kependekan dari mati siji, mati kabeh; mukti siji, mukti kabeh (gugur satu, gugur semua; sejahtera satu, sejahtera semua). Dari sinilah ia dijuluki “Pangeran Sambernyawa”, karena dianggap oleh musuh-musuhnya sebagai penyebar maut. Kehebatan Mangkunegara dalam strategi perang bukan hanya dipuji pengikutnya melainkan juga disegani lawannya.
Tak kurang dari Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, yang berkuasa ketika itu, memuji kehebatan Mangkunegoro. “Pangeran yang satu ini sudah sejak mudanya terbiasa dengan perang dan menghadapi kesulitan. Sehingga tidak mau bergabung dengan Belanda dan keterampilan perangnya diperoleh selama pengembaraan di daerah pedalaman. Dia juga memiliki ilmu yang disegani lawan-lawannya. Itulah ilmu Hasta Brata,” cerita Gus Putro.
Menjadi Raja Tanah Jawa
Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970. Dia menyandang banyak julukan Putra Sang Fajar, Singa Podium, Penyambung lidah Rakyat. Bung Karno selama ini dikenal seorang waskita, bahkan orang-orang Bali percaya kalau dia adalah reinkarnasi dari Dewa Wisnu, dewa hujan dalam agama Hindu.
Pernah suatu ketika Bung Karno berkunjung ke Bali, maka terjadilah suatu keanehan. Waktu itu Bali tengah dilanda kemarau yang sangat parah. Namun saat Bung Karno datang, tiba-tiba langsung turun hujan dengan derasnya. Begitu percayanya orang terhadap kesaktian Bung Karno, sampai sampai setelah kematiannya orang masih percaya Bapak Proklamator itu masih hidup. Bahkan budayawan Emha Ainun Najib (Cak Nun) dalam setiap ceramahnya selalu mengatakan bahwa Bung Karno belum mati. Dia hanya berpindah tempat saja.
Putra dari pasangan Raden Sukemi Sosrodiharjo dan Ida Ayu Nyoman Rai pada waktu masih kecil benama Kusno ini memang sewaktu mudanya banyak menimba berbagai macam aji kanuragan, aji kesaktian atau aji kadigdayaan.
Makanya baik kawan maupun lawan segan bila berhadapan dengannya. Bahkan tidak sedikit kaum hawa yang bertekuk lutut padanya hanya sekali kerling.
Kata Gus Putro, Bung Karno memiliki banyak kesaktian. Di antaranya Aji Pojoking Jagat, salah satu kesaktian tingkat tinggi warisan dari Sunan Kalijaga. “Aji Pojoking Jagat ini memiliki kegunaan bisa berjalan di atas air, bisa mengarungi lautan api tanpa terbakar, lolos dari semua senjata tajam dan lain sebagainya,” imbuhnya.
“Aji Pojoking Jagat adalah ilmu wali, makanya Bung Karno setelah mendapatkan ajian ini menjadi manusia setengah wali. Konon Aji Pojoking Jagat ini pernah diburu oleh Pak Harto ketika dia berkuasa,” cerita Gus Putro.
Ada kesaksian penduduk asli Cikini, mereka pernah melihat Bung Karno berjalan di antara rinai hujan tanpa basah sedikitpun. Kemudian pernah pula melihat Bung Karno berpergian bersama ajudannya dengan mobil kap terbuka dan ditembaki oleh seseorang tak dikenal, pelurunya hanya mampu menembus badan mobil.
Tak hanya itu, Bung Karno dikenal suka mengoleksi benda-benda pusaka. Setidaknya ada tiga tongkat komando yang bentuknya sama persis. Satu tongkat khusus untuk melakukan lawatan keluar negeri, satu tongkat untuk berhadapan dengan para Jenderalnya dan satu tongkat selalu dibawa waktu berpidato. Namun kalau keadaan buru-buru dan harus pergi, yang kerapkali ia bawa adalah tongkat komando khusus untuk pidato.
Pernah suatu saat Presiden Kuba, Fidel Castro memegang tongkat Bung Karno dan bercanda, “Apakah tongkat ini sakti seperti tongkat kepala suku Indian?” Bung Karno tertawa saja, saat itu Castro meminta peci hitam Bung Karno dan Bung Karno pakai pet hijau punya-nya Castro.
“Pet ini saya pakai waktu saya serang Havana dan saya jatuhkan Batista,” kata Castro mengenai pet hijaunya itu.
Apakah tongkat Bung Karno itu memiliki kesaktian seperti Keris Diponegoro 'Kyai Salak' atau keris Aryo Penangsang ‘Kyai Setan Kober’? Bung Karno tidak menjawab, tetapi yang jelas itu sakti.
Bung Karno juga memiliki kesaktian tiada batas. Itu diturunkan dari kakeknya. Hardjodikromo dikenal memiliki kesaktian dengan ucapannya yang bisa jadi kenyataan. Istilahnya idu geni. Rupanya ilmu ini menurun pada Bung Karno. Kemampuan idu geni Bung Karno itu didapat dari Hardjodikromo setelah berpuasa siang malam. Tujuan puasa kakek Bung Karno itu, agar cucunya bisa memiliki kekuatan batin yang kuat dan lurus. Pada hari ke 40 puasanya, Hardjodikromo kedatangan tamu seorang yang amat misterius. Lelaki paruh baya berpakaian bangsawan Keraton Mataram datang dan mengatakan dengan amat pelan.
Kata-kata itu jika diartikan dalam bahasa sekarang adalah “Bahwa cucumu jika pada masanya nanti akan menjadi seorang Raja. Raja bukan sembarang Raja. Bahkan cucu kesayanganmu itu nanti akan menjadi bukan saja Raja di Tanah Jawa, tapi di seluruh Nusantara”. Kelak Hardjodikromo mengira bahwa itu adalah perwujudan dari Ki Juru Martani, seorang bangsawan Mataram paling cerdas.
Sejak mimpi itu, kemampuan Bung Karno menjilat dan menyembuhkan berbagai macam penyakit lewat idu geninya langsung hilang. Namun berganti dengan kemampuan berbicara yang luar biasa hebat. Kehebatan idu geni Bung Karno itu dikuasai ketika dia mampu menguasai 8 unsur alam. “Bung Karno memiliki Hasta Brata. Siapa yang menguasai ilmu Hasta Brata, maka dia dengan mudah menguasai berbagai ilmu,” ucap Gus Putro.
Ditambahkannya, orang-orang sebenarnya tidak perlu memperebutkan ilmu-ilmu Bung Karno. Mereka cukup menguasai ilmu Hasta Brata, maka orang tersebut akan mudah mendapatkan ilmu yang diinginkan. “Mau ilmunya Bung Karno atau Pak Harto, asalkan bisa menguasai Hasta Brata, mereka pasti bisa menguasai segalanya,” akunya.
Diakui Gus Putro, banyak sekali orang-orang yang ingin mendapatkan kekuatan linuwih Bung Karno. Bahkan setelah meninggal pun, mereka berlomba-lomba memperebutkan kekuatan Bung Karno.
“Mereka ingin mendapatkan ilmu secara instan seperti mengharap tetesan aura dari sang pemimpin. Tapi itu tidak gampang. Orang yang dekat dengan Bung Karno saja belum tentu bisa. Itu semua tergantung dari aura orang tersebut,” ungkapnya.
Diburu Banyak Orang
Pak Harto juga tidak kalah. Para spiritualis dan budayawan Jawa mengakui kemampuan linuwih Pak Harto. Dengan ilmu lembu petheng yang dimilikinya, dia bisa mengalahkan Sudarsono, DN Aidit, Sukarno, Hatta, Nasution dan seluruh orang besar di negeri ini yang mustahil dikalahkan. Secara politik, Suharto hanya dikalahkan oleh umurnya sendiri.
Dalam sejarah Jawa, Pak Harto termasuk orang yang sukses mengurai sejarah kudeta yang berdarah-darah dalam merebut tahta kekuasaan. Banyak tokoh yang kemudian muncul tiba-tiba dalam panggung sejarah, tanpa masa lalu, dan tanpa beban silsilah. Ia kemudian mengklaim sebagai anak para dewa, anak para raja, dan dengan begitu mereka menggenggam mitos.
Suharto adalah manusia kontroversial. Nilai kontroversinya jauh melebihi Sukarno. Bila Bung Karno dikenal dunia karena ulahnya yang mencengangkan dan sering bikin kejutan, maka Suharto lebih pada nilai misteriusnya.
Misteri Suharto adalah kekuasaan yang begitu besar, dan itu dibangun dengan cara yang mungkin orang akan tercengang yaitu sikap: diam. Pendiam bagi Suharto bukan hanya watak tapi merupakan latihan menahan diri yang ekstrem.
Yah, ilmu lembu petheng itulah kekuatan Pak Harto. Dia bisa memecahkan mitos buku suci raja-raja Tanah Jawa. Ini juga yang tampaknya dipegang dalam konstelasi politik nasional kita yang belum lepas dari kesejarahan mitos atas silsilah di masa lalu.
Mantan “Raja Nusantara” ini terbilang sebagai tokoh mumpuni yang sulit dicari tandingannya. Pergulatan langsung dengan budaya Jawa atau mistik Kejawen, menjadikan dirinya mempunyai kekuatan spiritual yang ngedab-edabi.
Membaca perjalanan spiritual Pak Harto memang kelewat panjang. Namun dari laku spiritual yang digeluti menjadikan dirinya sebagai satria linuwih, baik dari sisi jasmani maupun rohani.
Ketokohan Pak Harto setidaknya bisa disamakan dengan tokoh sejarah Ken Arok. Sebagaimana Ken Arok akhirnya bisa menjadi Raja Singasari, Pak Harto yang sejak semula sadar dan harus mempersiapkan dirinya baik jasmani maupun rohani akhirnya bisa menjadi raja. Meski harus diakui ketokohan Pak Harto pada akhirnya menjadi ”Raja Nusantara” tak pernah diprediksi banyak kalangan sebelumnya, sebagaimana yang terjadi pada Ken Arok.
Dalam hal tirakat, Pak Harto memang jagonya. Sejak muda ia memang konsisten menjalani laku spiritual seperti puasa Senin-Kamis. Bahkan dalam rangka mencari pulung derajad ia tak segan-segan menjalani tapa kungkum di berbagai tempat. Dalam pandangan orang Jawa, ritual kungkum tiada lain untuk nggayuh kamukten (mencari kemuliaan).
Sebagai bentuk pendalaman spiritual pada diri Pak Harto juga terlihat pada langkahnya yang menikahi Ibu Tien sebagai pasangan hidup. Ibarat batu mustika, Ibu Tien yang juga bukan wanita sembarangan merupakan emban atau pasangan pendamping yang bisa mendampingi Pak Harto. Secara spiritual, Ibu Tien merupakan sosok putri Nariswi yang bisa menjunjung derajad suami.
Setiap langkah yang dilakukan Pak Harto tak pernah lepas dari perhitungan-perhitungan spiritual Jawa. Terlebih pada saat genting, ia akan melakukan kolaborasi dengan penguasa-penguasa gaib di seluruh Indonesia.
Selain rajin laku mistik kejawen, Pak Harto juga gemar mengoleksi pusaka untuk menambah kekuatannya. Salah satu pusaka yang dipinjam Suharto untuk menambah kekuatannya adalah pusaka andalan Kraton Solo. Tidak hanya itu, Suharto dipercayai memiliki “pendamping”. Pendamping ini adalah salah satu raja perempuan alam bawah laut, kakak seperguruan Nyai Roro Kidul. Pusaka-pusaka itu hanya akan digunakan sendiri oleh Pak Harto dan tak bisa diwariskan kepada putra-putrinya.
Konon, Pak Harto punya tiga keris ampuh dan pusaka itu didapatkan sendiri saat menjalani ritual. Bisa jadi, setelah Pak Harto wafat ketiga keris itu akan muksa sendiri. Toh, jika tidak muksa, harus dilarung, sebab jika tidak akan menimbulkan aura jelek bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Sebagai tokoh yang punya kekuatan spiritual amat tinggi, Pak Harto selama ini memang memegang teguh rahasia ilmu yang dimilikinya. Ilmu Hasta Brata itu sangat dahsyat. Dengan ilmu itu, dia mampu menguasai ilmu-ilmu lain sehingga dia mampu memegang kendali kekuasaan selama 32 tahun.
Pak Harto sebagai tokoh linuwih menjadikan dirinya sebagai tokoh besar yang patut dihormati oleh alam. Diakui atau tidak, sebelum Pak Harto jatuh sakit ada fenomena alam seperti jatuhnya meteor, banjir bandang, munculnya teja bathang di Jakarta dan lainnya.
Meski keterkaitan sakitnya Pak Harto dengan peristiwa alam sulit dibuktikan, tetapi dari sisi metafisika setidaknya mengarah ke hal itu. Banyaknya pejabat yang menjenguk Suharto saat sakit, sangat bisa dimengerti. Hampir semua pejabat adalah bekas anak buahnya. Hubungan senior-junior atau bapak-anak mesti dijaga karena tanpa senior/bapak, junior/anak tak mungkin menjadi seperti sekarang. Inilah mungkin kesempatan terakhir untuk bertemu dan memberi hormat. Tapi dalam hatinya mungkin juga berharap akan mendapatkan ilmu wahyu yang dimiliki Suharto. Tak ada yang salah, sebab dalam tradisi Jawa tindakan praktis itu kerap dilakukan para pendahulu. Artinya, tanpa laku prihatin, tanpa puasa dan pertapa, jika wahyu itu mau jatuh ke seseorang, ya jatuhlah.
Maka jangan heran, dulu ketika Suharto sakit, pada radius 500 meter banyak orang pintar berkumpul. Mereka datang dari pelosok Jawa bahkan penjuru tanah air. Mereka berharap bisa menangkap atau kejatuhan ilmu atau wahyunya Suharto yang hendak terbang dari raga. Mereka punya peluang yang sama dengan para pajabat yang keluar masuk rumah sakit.
Saat ini meski keduanya sudah tiada, namun pamor Bung karno dan Pak Harto masih luar biasa. Banyak yang berusaha mencari dan merebutkan ilmu keduanya.
Bung Karno dan Pak Harto memiliki ageman berlapis-lapis. Aura kekuatan sampai sekarang terus melekat. Semasa hidup, mereka disegani banyak orang. Orang yang berilmu Hasta Brata biasanya memiliki kharisma luar biasa yang dapat mengemong, memikat, dan membuat takluk banyak orang.@nov
Author Abad
20.12.22
Bung Tomo, tokoh penting di balik pertempuran 10 November 1945. Di mata istrinya, Sulistina, pejuang yang membakar semangat arek-arek Surabaya itu bukan hanya dianggap sebagai “pahlawan keluarga” tapi juga sosok yang romantis.
Abad.id Buku berjudul “Romantisme Bung Tomo, Kumpulan Surat dan Dokumen pribadi Pejuang Revolusi Kemerdekaan” merupakan hasil kumpulan surat-surat Sutomo–nama panjang Bung Tomo–yang dikumpulkan alm Sulistina (istri) selama puluhan tahun.
“Saya menyalin sendiri tulisan-tulisan itu dengan laptop saya,” kata Sulis, panggilan akrabnya, semasa hidup.
Ibu empat anak dan nenek dari 12 cucu itu menceritakan perjalanan kisah cintanya dengan Bung Tomo pada masa pergolakan revolusi. Dan, cerita-ceritanya hingga kini masih relevan untuk diceritakan pada generasi muda.
Sulis menceritakan, saat itu, dia–yang tercatat sebagai anggota PMI cabang Malang–sedang ditugasi kantornya ke Surabaya. Di kota itulah, gadis kelahiran kota dingin Malang itu bertemu Bung Tomo yang usianya lebih tua lima tahun.
Menurut Sulis, saat itu tidak banyak lelaki yang berani mendekatinya. Namun, pria kelahiran Kampung Blauran, Surabaya, yang disebut Mas Tomo itulah yang berani mendekatinya.
“Bahkan ia berani menyatakan cintanya kepada saya. Dari sana saya menyadari bahwa di balik sosok Mas Tomo yang keras, juga memiliki sisi romantis” kata Sulis.
Meski mereka resmi sudah memadu kasih sejak Januari 1946, namun karena kota Surabaya masih dikuasai tentara Sekutu, mereka pun bertemu secara sembunyi-sembunyi.
Bung Tomo yang dikenal sebagai pemimpin Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) saat itu merupakan salah satu tokoh yang diincar oleh tentara sekutu. Pada 19 Juni 1947 pasangan itu memutuskan untuk menikah di kota Malang.
Pernikahan pun diputuskan di Jalan Lowokwaru IV/2 Malang. Banyak kawan-kawan beliau dari BPRI dan PMI (Teman-teman istrinya) yang hadir, tetapi bukan berarti mudah menjadi istri Bung Tomo karena masih diburu-buru Belanda, mereka harus pindah ke Jogjakarta.
Untuk urusan dapur beliau memang jago memasak rawon, lodeh, sayur asem, sambel goreng taoco. Bahkan beliau sendiri yang mengajari istrinya memasak. “Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah” ucap Bung Tomo kepada istrinya.
Di bawah tekanan hidup di awal kemerdekaan yang serba susah, termasuk posisi Bung Tomo yang masih “diburu” Sekutu, pasangan muda itu memutuskan pindah ke kota Malang. Di kota dingin itu, Sulis mengaku bahagia kendati kehidupan ekonominya sangat berat. “Saya sampai harus gali lobang tutup lobang. Tapi, yang saya salut Bung Tomo tidak mau menyerah menghadapi kenyataan yang berat itu,” katanya.
Meski kejadiannya sudah lebih lebih setengah abad lalu, Sulis masih bisa mengingat secara tepat tanggal-tanggal yang dianggapnya sangat istimewa. Dia ingat betul kapan Bung Tomo menyatakan cintanya hingga peristiwa-peristiwa politik yang menimpa suami, termasuk saat Bung Tomo meninggal saat naik haji pada 1981.
Menulis Surat Cinta
Di mata Sulis, sosok Bung Tomo adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa ksatria, pemberani, dan romantis. Di bawah berbagai tekanan yang dialaminya, Bung Tomo selalu mencurahkan isi hati kepada keluarga melalui puisi dan surat-surat cintanya di balik kamar tahanan.
Karena merasa surat-surat itu sangat berharga, wanita itu mengumpulan kumpulan surat yang didokumentasikan melalui buku yang disusunnya. “Jika dihitung-hitung jumlahnya ratusan. Bahkan kalau diukur panjangnya bisa mencapai 15 meter,” katanya.
Seperempat abad lebih setelah kematian Bung Tomo di tanah suci Makkah pada 1981, cinta Sulistina kepada sang suami seperti tak pernah pupus. Bahkan, sampai hari ini pun, wanita kelahiran Malang itu mengaku masih terkenang dengan si Bung yang disebutnya sebagai “perayu ulung” itu.
Banyak cara orang mengungkapkan rasa cinta kepada pasangannya. Namun, Sulistina memilih membuat buku. “Saya sedang mempersiapkan buku kumpulan sajak-sajak Bung Tomo,” kata Sulis, panggilan akrab Sulistina.
Menurut Sulis, buku adalah persembahan cinta terbaik bagi suami. Sebab, dengan menulis, jiwa dan pikiran Bung Tomo tidak hanya bisa dibaca oleh anak keturunannya, tapi juga publik secara luas.
Salah satunya adalah surat cinta Sulis kepada Bung Tomo yang dibacakan budayawan tersohor Taufik Ismail. Taufik membawakan puisi tersebut dengan syahdu hingga orang yang hadir, termasuk Sulis, terpana. Dia mulai menyadari arti penting surat-surat yang ditulis Bung Tomo yang disimpannya secara apik selama puluhan tahun.
Bung Tomo yang suaranya menggelegar membangkitkan perlawanan arek-arek Surabaya pada pertempuran 10 November 1945, kata Sulis, adalah sosok yang romantis. Dengan mengandalkan laptop milik cucunya, Tami Rahmilawati, Sulis mengetik ulang sajak-sajak romantis yang ditulis pada 1951-1971 itu dengan penuh emosi siang dan malam.
“Dalam sehari, saya bisa menyelesaikan lima surat,” kata wanita yang pandai berbahasa Belanda itu.
Selain surat cinta, buku itu juga memuat surat-surat Bung Tomo selama masa tahanan rezim Orde Baru pada 1977-1978. Saat itu, suaminya ditahan di Penjara Nirbaya, di kawasan Pondok Gede, Jakarta. Bung Tomo adalah sosok yang kritis kepada rezim Soekarno maupun Soeharto. Akibat sikapnya itu, Bung Tomo oleh Orde Lama maupun Orde Baru diasingkan secara politik, bahkan dibui.
Dari ratusan pucuk surat dan puisi romantis Bung Tomo, ada beberapa yang paling membuat Sulis terharu. Salah satunya adalah puisi cinta berjudul Melati Putih, Pujaan Abadi Hatiku.
Puisi tersebut dibuat Bung Tomo di Penjara Nirbaya pada 26 Juni 1978. Dalam puisi itu, pejuang kemerdekaan tersebut berusaha mengungkap kembali perasaan cinta kedua insan yang menikah pada saat pergolakan revolusi pada 1947. Sajak itu dedikasikan untuk putri pertama mereka, Tien Sulistami, yang lahir pada 29 Juni 1948.
“Mas Tom merupakan perayu yang ulung. Dia tidak pernah berhenti menyanjung saya setiap waktu. Pada puisi itu, Mas Tom menyebut saya sebagai Melati Putih, hati siapa yang tak tersanjung disebut seperti itu,” katanya.
Masih saat di Penjara Nirbaya, Bung Tomo yang ketika itu sudah berusia 58 tahun tetap bersemangat menulis puisi untuk istrinya. Dalam puisi itu, lagi-lagi Bung Tomo memuji kecantikan wajah istrinya saat bangsa Indonesia merayakan Hari Kartini.
Ini Hari Kartini, Dik!
Terbayang wajahmu nan cantik
Penaku kini henti sedetik
Terlintas semua jasamu
Sejak kita bertemu
Sulis tidak pernah merasa kecil hati mengungkap seluruh dokumen pribadinya kepada pembaca. Justru dia ingin itu menjadi sejarah yang tidak terlupakan. “Biar pembaca bisa mengambil hikmah dan mengerti betapa indahnya hidup ini,” ujarnya.
Menolak Dimakamkan
Sulis mengakui kehidupan cintanya bersama Bung Tomo dilalui lewat pasang surut perjalanan republik. Dulu, keduanya memadu cinta ketika Bung Tomo masih diburu tentara sekutu di Surabaya.
Keromantisan Bung Tomo tampak dalam setiap surat-suratnya. “Tiengke” panggilan sayang untuk Sulistina selalu menghiasi kop surat. Dalam beberapa surat panggilan sayang itu dikombinasi dengan kata-kata mesra lainya. Misalnya “Tieng adikku sayang”, “Tieng isteri pujaanku”, “Dik Tinaku sing ayu dewe”, “Tieng Bojoku sing denok debleng” atau “Tiengke Sayang”.
Dalam sebuah surat yang ditulis pada 13 Maret 1951 Bung Tomo memahami bahwa istrinya sudah terlalu lama ditinggal di rumah bersama anak-anaknya. Selain menanyakan kabar buah hatinya, Bung Tomo juga berpesan: “Bila kesepian, ambilah buku pelajaran bahasa Inggris kita, en…success,”. Indahnya ucapan itu hingga Sulistina mengaku selalu tak sabar menunggu surat-surat berikutnya.
Selera humor Bung Tomo juga membuat Tiengke terpesona. Dalam satu kesempatan di 20 Maret 1951 surat Bung Tomo diterima. Dalam suratnya pria yang lahir pada 1920 itu menceritakan bahwa foto Sulistina dipuji teman-temannya dan beberapa ibu-ibu.
“Malah ono sing kanda (malah ada yang bilang) een paar’dames (beberapa ibu-ibu) memper (mirip) Ingrid Bergman! Bintang film Swedia di USA,’’ begitu petikan surat Bung Tomo.
Kemesraan yang terjalin melalui surat-surat Bung Tomo tak membuat nafas perjuangannya hilang. Dalam surat balasan kepada Bung Tomo, Sulistina pernah bertanya, kapan perang kemerdekaan ini akan selesai? Karena jarang sekali mereka berdua bertemu dan anak-anaknya selalu menanyakan kapan Bung Tomo datang.
Melihat istrinya mengeluh dengan perjuangannya yang tak kunjung berakhir, Bung Tomo menulis: “Tieng kowe tak seneni ya? Sesuk-sesuk adja sok kanda kapan telase merdeka ini, ya? Wong sedih merga ora bareng-bareng dua minggu wae kok ndukani “Merdekane”. (Tieng aku boleh marah ya? Lain kali jangan pernah bilang kapan selesainya perang kemerdekaan ini. Cuma sedih karena tidak bersama-sama dua minggu saja, kok menyalahkan “Merdekanya”).
Dukungan seorang istri atas perjuangan suami benar-benar menjadi sebuah perekat hubungan yang sudah terjalin. Bagaimana tidak? Saat Bung Tomo ditahan selama setahun (1978-1979) oleh rezim Soeharto, Sulistina tak tinggal diam. Presiden pun disurati. Dalam surat itu Sulistina menyebut Pak Harto saja, tanpa embel-embel presiden.
“Orang yang sudah mempertaruhkan jiwa-raganya untuk mempertahankan kemerdekaan negaranya, tidak mungkin mengkhianati bangsanya sendiri,” protes Sulistina dalam surat itu.
Di era kemerdekaan Bung Tomo lalu berkarir sebagai politisi di Jakarta, sebelum kemudian berseberangan dengan Bung Karno. Saat Orde Baru lahir, Bung Tomo ikut mendukung. Tapi, sikap kritisnya membuat Soeharto berang sehingga Bung Tomo ditahan.
Wanita itu bersyukur, perkawinan mereka dikaruniai empat anak yang berbakti. Mereka adalah Tin Sulistami (59), H M. Bambang Sulistomo (57), Sri Sulistami (56), dan Ratna Sulistami (49).
Seperti dia, sebagian besar anak-anak Bung Tomo itu menetap di Perumahan Kota Pesona, Bogor, setelah rumah warisan ayah mereka di Menteng, Jakarta, dijual.
Lantaran begitu cintanya kepada istri, tutur Sulis, Bung Tomo pernah berkelakar aneh kepada dia. Intinya, Bung Tomo ingin Sulis menyusul mati tiga hari setelah kematiannya. Alasannya, supaya Sulis punya cukup waktu untuk membaca tulisan wartawan soal kematiannya. “Supaya saya menceritakan ulang tulisan wartawan kepadanya di akhirat,” kata Sulis seperti yang ditulis dalam buku Bung Tomo, Suamiku.
Kelakar pejuang itu ternyata “benar-benar” terjadi. Saat keduanya menunaikan ibadah haji pada 7 Oktober 1981, tiba-tiba Bung Tomo jatuh sakit dan meninggal di Makkah tepatnya di Padang Arafah. Sulis yang saat itu pontang-panting mengurus jenazah sang suami sehat-sehat saja. Tapi, tepat tiga hari, ibu Sulis–mertua Bung Tomo–yang meninggal dunia.
Hanya, Sulis tidak bercerita apakah ibunya sempat membaca berita-berita koran yang saat itu ramai memberitakan kematian suaminya.
Meski hingga kini Bung Tomo tak kunjung dinobatkan sebagai pahlawan nasional, Sulis tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia tetap menganggap Bung Tomo sebagai pahlawan baginya. “Saya yakin masyarakat Indonesia tetap menganggapnya sebagai pahlawan. Begitu pula saya,” ceritanya.
“Sampai sekarang, nama Bung Tomo tidak pernah hilang. Saya saja yang tidak pernah berjuang ikut terbawa harum,” katanya sambil tertawa.
Bung Tomo mempertahankan kekecewaannya kepada pemerintah sampai wafat. Dalam wasiatnya, dia dengan tegas mengaku tidak mau dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, Jakarta. “Alasannya, di sana dimakamkan banyak koruptor,” ungkap Sulis.
Menurut Sulis, setahun setelah meninggal di tanah suci, jenazah suaminya dibawa kembali ke tanah air. Sesuai dengan amanahnya, Bung Tomo dimakamkan di pekuburan rakyat di Ngagel, Surabaya. Di jalan menuju makam itu, kini berdiri plang Jalan Bung Tomo.
Kesetiaan Sulistina kepada Bung Tomo tidak perlu diragukan lagi. Cinta mereka tak terhalang ruang dan waktu. Setelah Bung Tomo meninggal dunia pun, Sulistina tetap rajin menulis surat. Kejadian apa pun selalu diceritakan dalam surat yang tak pernah terkirim itu.
Surat-surat Cinta Bung Tomo
“Datanglah. Waktuku amat sempit. Ada yang ingin aku ceriterakan padamu” atau, “Aku rindu padamu tetapi tak punya waktu,. Bisa Jeng menemuiku?”
“Jeng Lies aku cinta padamu. nanti kalau perang sudah usai. Dan…Kita akan membuat Mahligai.”
“Tak terlalu tinggi cita-citaku. Impianku kita punya rumah diatas gunung. Jauuuh dari keramaian. Rumah yang sederhana seperti pondok. Hawanya bersih, sejuk & pemandangannya Indah. Kau tanam bunga-bunga dan kita menanam sayur sendiri. aku kumpulkan muda-mudi kudidik mereka menjadi patriot bangsa.”
“Waktu kecil aku sering ikut ibu membantu orang yang punya hajat perkawinan. Mereka sering kali bilang, kalau perempuan yang bisa mengulek pasti pandai melayani suami di tempat tidur. Makanya kamu harus pandai memasak supaya aku betah di rumah.”
“Waktu bebas, aku tidak mempunyai kesempatan membaca, nah sekarang kesempatan itu ada dan harus ku pergunakan. Tuhan memberi cobaan, tentu ada hikmahnya.”
“You are a hero, a patriot, a great lover sampai hari akhirmu.” @nov
*) diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id-Nama SK Trimurti begitu melegenda dalam dunia jurnalisme Indonesia. Dia adalah wartawan senior yang hidup tiga zaman. Pada zaman penjajahan Belanda, dia sudah terbiasa hidup di dalam bui karena idealisme dan karya jurnalistiknya. Bahkan, dia harus melahirkan anak keduanya di lorong penjara.
Abad.id Tubuhnya yang renta terkulai di tempat tidur. Wajahnya yang pucat memancarkan kepolosan. Sesekali perempuan mungil ini meringis, mengeluhkan perutnya yang sakit. Ia meronta dari ikatan yang membalut tangannya. Ikatan yang sebenarnya membelenggunya, tapi dilakukan demi kasih sayang orang-orang terdekatnya.
Namun demikian, ajal pun tetap tak bisa dilawan. Pada Selasa 20 Mei 2008 di RS Pusat Angkatan Darat, Jakarta, istri mantan penulis naskah proklamasi Sayuti Melik menghembuskan nafas terakhir. Dia pun dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Meski ajal sudah menjemput, nama Soerastri Karma Trimurti tetap harum di mata kerabat dan handai taulan. Yah, oran-orang biasa memanggilnya dengan nama singkatan SK Trimurti. Trimurti merupakan wartawan tiga zaman. Dia, boleh dibilang gambaran kekuatan dari masa lalu.
Namanya tercatat dalam sejarah dunia jurnalisme di Indonesia. Coretan dan tulisannya meninggalkan bekas di kalangan wartawan tiga jaman.
Melalui karya-karya dan tulisannya, ia bahkan pernah menjalani hidup di bui Belanda (1936-1943). Bahkan, anak partamanya lahir dalam penjara Belanda yang kumuh dan sempit kala itu.
Wanita kelahiran Solo, 11 Mei 1912 menikah dengan Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal Sayuti Melik pada tahun 1938. Namun dia kemudian bercerai pada tahun 1969. Dari perkawinan mereka lahir dua orang putra yang diberi nama Moesafir Karma Boediman (MK Boediman) dan Heru Baskoro.
Di usia senjanya, ia masih tetap menuangkan kritikan-kritikan tentang apa yang terjadi di sekitar dalam tulisan dan goresan di atas kertas. Sikap ramah dan penuh kesopanan, menuntunnya dalam mengungkap fakta-fakta ketidakadilan.
Trimurti, dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.
Dijothak Bung Karno
SK Trimurti lahir dari pasangan Salim Banjaransari Mangunsuromo dan Saparinten binti Mangunbisomo. Nama Karma dan Trimurti yang sering dimunculkannya, digunakannya sebagai samaran secara bergantian untuk untuk menghindar dari delik pers masa pemerintahan kolonial Belanda. Rupanya siasat itu tidak sampai meloloskannya dari penjara pemerintah Belanda.
Wanita yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada era Soekarno ini, mengenal dunia politik sejak ia tamat dari Sekolah Ongko Loro, yang waktu itu lebih dikenal dengan sebutan Tweede Inlandsche School. Saat menjadi guru dan sering mendengar pidato Bung Karno, di radio-radio, ia pun tergerak untuk aktif sebagai kader di Partindo. Di partai tersebut, Surastri mengenal Sudiro, Sanusi Pane dan Intojo.
Pada masa-masa itu, saat mengajar di Bandung, Trimurti sempat menetap di rumah Inggit Ganarsih (istri Bung Karno), yang saat itu menjadi contoh tauladan bagi gadis-gadis sebaya Trimurti, sebab Inggit dikatakan sebagai Srikandi Indonesia.
Akibat keaktifannya di dunia perjuangan, Trimurti sempat merasakan dinginnya dinding penjara pada tahun 1936. Ia dihukum di Penjara Wanita, di Bulu, Semarang, akibat menyebarkan pamflet anti penjajah. Sekeluarnya dari penjara, ia dilarang lagi mengajar. Trimurti pun bekerja di sebuah percetakan kecil yang merupakan percetakan kaum pejuang. Di sinilah ia belajar tentang membuat koran atau mencetak majalah. Dan bakat menulisnya pun mulai terlihat. Pesat, Bedug, dan Genderang yang sudah tidak lagi terbit adalah contoh nama-nama media majalah tempat dia pernah berlabuh menuangkan kemampuan intelektual jurnalistik untuk membangun bangsa.
Pada tahun 1937, SK Trimurti berkenalan dengan Sayuti Melik. Kedua orang aktivis politik ini pun mengikat janji untuk menjadi suami istri pada 19 Juli 1938. Maka jadilah mereka pasangan suami istri yang saling bahu membahu dalam dunia perjuangan.
Dalam masa pernikahannya itu, Sayuti dan Trimurti mengalami romantisme perjuangan. Bahkan demi membela Sayuti, yang menulis artikel berisi anjuran agar rakyat Indonesia tidak membantu Belanda dan dimuat di majalah tempat Trimurti bekerja, Trimurti rela mengaku itu tulisannya sehingga ia dikenakan tahanan luar, karena saat itu ia tengah mengandung anak pertamanya.
Pada masa kemerdekaan, oleh Soekarno, SK Trimurti diangkat sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Syarifuddin, mulai dari 3 Juli 1947 sampai 23 Januari 1948. Awalnya ia merasa tidak mampu, namun berkat bujukan Drs Setiajid, hatinya pun luluh. Namun kabinet tersebut tidak berjalan lama.
Pensiun jadi menteri, SK Trimurti menjadi anggota Dewan Nasional RI Ia juga melanjutkan kuliahnya di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan tamat tahun 1960. 1962 hingga 1964, ia diutus oleh Pemerintah RI ke Yugoslavia untuk mempelajari Worker’s Management dan ke negara-negara sosialis lainnya di Eropa untuk mengadakan studi perbandingan mengenai sistem ekonomi. Karena dedikasinya kepada dunia perburuhan, SK Trimurti diangkat sebagai anggota dewan pimpinan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia (YTKI).
Meski bergelut dalam dunia perburuhan, timbul rasa rindu di hatinya untuk kembali menekuni dunia jurnalistik. Maka ia pun menerbitkan majalah yang diberi nama Mawas Diri, yang memuat soal-soal kekagamaan, aliran kepercayaan, soal-soal etika, moral dan sebagainya.
Wanita yang wafat pada usia 96 tahun itu, tinggal sendiri di rumah mungilnya di Jalan Kramat Lontar H-7, Kramat, Jakarta Pusat. Rumah sederhana itu jauh dari kemegahan dan kementerengan.
Sebagai perempuan yang lahir dan dibesarkan di lingkungan Jawa, dia menentukan sikap untuk tetap sangat tegas terhadap perihal hak-hak perempuan yang dibingkai dengan sopan santun kejawen. Ketegasan itu bukan hanya telah dia contohkan dengan kerelaan melahirkan seorang anak di sebuah lorong penjara, melainkan, terhadap seorang suami Sayuti Melik pun yang karena menikah lagi keduanya harus bercerai dia tetap menaruh rasa hormat sebagai mantan suami.
Kendati sudah berusia uzur, Trimurti masih sempat wira-wiri sebagai pembicara di seminar-seminar bertaraf nasional. Tahun 1956 ia sempat memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia juga pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.
Dan kini, di sebuah rumah sederhana tersebut, tampak bajaj bebas berseliweran dengan suara gaduhnya. Suara itu sewaktu-waktu dapat bercampur dengan suara orang-orang lewat. Pun anak-anak kecil yang menangis termasuk teriakan ibu-ibu yang memanggil tukang siomai dan bakso, bersahut-sahutan.
Di rumahnya yang sebagian kamarnya dia sewakan sebagai tempat indekos bagi para karyawati terdapat sebuah ruang tamu tempat menggantung lukisan Semar, tokoh pewayangan setengah dewa setengah manusia dan separuh laki-laki dan separuh perempuan yang dikeramatkan oleh sebagian orang Jawa.
Nah, baru di ruang tengah rumahnya terdapat sebuah gambar ukuran 100×60 centimeter yang melukiskan seorang Presiden Soekarno yang sedang menyematkan Bintang Mahaputra Tingkat V ke dada Trimurti.
Dia tercengang mengenang sebentar, “Saya sedang dijothak (didiamkan) Bung Karno waktu itu karena memprotes poligami!” tutur Trimurti yang akhirnya bisa tersenyum menerawang mengingat-ingat kembali tipe Bung Karno seorang lelaki yang karismatik tapi beristri banyak.
Memang, hubungan Trimurti dan Bung Karno waktu itu sempat terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Saat itu Trimurti dikenal sejawatnya sebagai perempuan yang antipoligami. Namun, sikap itu rupanya tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.
Dia mengatakan sesungguhnya sangat loyal terhadap Bung Karno sang guru politik sekaligus orang yang memaksanya untuk pertama kali menulis di majalah Pikiran Rakyat.
Proklamator Kemerdekaan dan Presiden R.I. pertama itulah yang telah membuat dia kecemplung ke dunia jurnalisme sebab sebelumnya Trimurti sudah menjadi seorang guru di sebuah sekolah dasar khusus putri di Surakarta dan Banyumas, serta di perguruan rakyat di Bandung.
Satu-satunya persoalan fisik dia yang serius adalah keterbatasan penglihatan mata sebelah kanannya yang merosot karena termakan usia, selebihnya tak ada masalah fisik lain pada perempuan tua namun masih sehat walafiat ini. Bukan peristiwa aneh jika ketika dia sedang berjalan-jalan di sekitar rumah lalu tetangganya melontarkan senyum namun tak sekali pun pernah berbalas.
Persoalannya Trimurti tidak bisa melihat dengan sempurna bukan karena wartawan senior ini sombong. “Wong saya baca saja pake kaca pembesar!” ujarnya penuh rasa humor.
Pejuang Dunia Sunyi
Di masa tuanya, mata Trimurti selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruangan tempat dia berbaring.
Ketika Sainah (46), yang merawat Trimurti, pahlawan negara itu sering bergulat dalam kesunyian batinnya. Dia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Trimurti sering melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.
Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, “Saya lupa judulnya, itu lho… Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna. (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan)."
Sesekali Trimurti membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.
Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Trimurti.
“Orang menyangka Ibu meninggal saat itu,” kenang Heru, anak Trimurti.
Trimurti kemudian dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.
“Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun ibu masih naik bus,” lanjut Heru.
“Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju,” lanjut Sainah.
Hidupnya Trimurti memang sangat sederhana. Sebagai mantan menteri, Trimurti sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. “Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial,” tutur Heru.
Memasuki usia lanjutnya, ingatan Trimurti timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. Tetapi yang cukup mencengangkan, dia masih ingat dengan Bung Karno. “Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin,” sambung Heru.
Dan sekarang, sang pejuang wanita itu cuma terbaring di atas ranjang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Perempuan yang dipanggil Eyang itu pada akhirnya menyerah pada takdir. Dia pun tidur tenang. Sayangnya hingga kini, tidak banyak orang yang mengetahui tentang keadaan dirinya, padahal ia punya peran besar dalam menghantarkan bangsa Indonesia menikmati kemerdekaan.@nov
*) diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id Mulanya tak ada yang tahu masjid itu berasal. Penduduk tiba-tiba menemukan sebuah masjid sederhana di atas bukit Candi Ketilang, masuk Kabupaten Purwodadi Grobogan masa kini. Tapi, beberapa waktu kemudian bangunan itu pindah, bergeser sejauh dua kilometer ke sebuah dukuh bernama Kondowo. Pada akhirnya masjid ini pindah lagi sejauh satu kilometer ke Desa Terkesi, Kecamatan Klambu.
Cerita yang kedongeng-dongengan ini, oleh penduduk setempat masjid itu diberi nama masjid tiban. Namun H. Aboebakar dalam bukunya, Sedjarah Mesdjid (Toko Buku Adil, Banjarmasin, 1955), telah melakukan penelitian dan menemukan sejarah masjid tiban.
Ternyata, semuanya berawal dari masa pembangunan masjid di Glagah Wangi, yang kemudian menjadi semacam tonggak bagi sejarah masjid di pulau Jawa. Sebab Glagah Wangi itulah yang kemudian dikenal sebagai Demak, dan masjid yang dibangun itu adalah masjid Agung Demak.
Ketika para wali memutuskan masjid harus dibangun dari kayu jati, diketahui di sekitar Glagah Wangi tak terdapat hutan jati yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangunan. Lalu diputuskan mengambil kayu jati dari daerah Klambu, masuk kawasan Purwodadi tadi. Pada masa itu kawasan tersebut belum berpenduduk. Para penebang yang dikirim dari Demak lalu mendirikan masjid sederhana di tengah hutan jati untuk tempat beribadah mereka.
Setelah penebangan yang memakan waktu berbulan-bulan selesai, mereka pun balik ke Demak dan meninggalkan sebuah masjid di tengah hutan. Masjid inilah yang kemudian ditemukan penduduk dan menganggap masjid itu “jatuh dari langit”.
Soal berpindah-pindahnya masjid memang lebih menyerupai dongeng ketimbang urutan kronologis sejarah. Tetapi, ada satu benang merah di sini, bahwa sejarah masjid-masjid purba di Jawa dan Nusantara tak jarang melibatkan misteri dan kekeramatan.
Soko Guru
Sebuah kisah tentang Masjid Agung Demak. Saat itu sidang para wali yang dipimpin Sunan Giri memanas. Terjadilah pradondi kiblat –silang pendapat untuk menentukan arah kiblat –dalam pembangunan Masjid Agung Demak. Sampai menjelang sholat Jumat tak ada kata sepakat. Sunan Kalijaga tampil melerai dengan menunjukkan arah kiblat antara Demak dan Mekkah secara ainul yaqin.
Lalu, menurut sahibul kisah, Sunan Kalijaga Babad Demak dan kitab Walisanga karya Sunan Giri II disebut Syekh Melaya, berdiri tegak menghadap ke selatan. Tangan kanannya memegang Ka’bah di Masjidil Haram, dan yang kiri memegang makuta Masjid Agung Demak. Lalu diluruskan arahnya dengan membentangkan kedua tangannya.
Para wali lainnya; Sunan Gunung Jati, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Derajat, dan Sunan Gresik, memandang takjub. Dengan cara itulah, konon, kiblat Masjid Agung Demak dibakukan, dan pembangunan pun dimulai. Hikayat ini menambahkan kadar karisma pada masjid bersejarah itu.
Pembangunan Masjid Agung Demak kemudian diprakarsai para wali. Sokoguru atau tiang penyangga utama bangunan dibebankan kepada para wali. Bangunan yang lain disokong oleh Raden Patah, Raja Kerajaan Islam Demak Bintoro. Pembangunannya dipimpin Adipati Natapraja, bakas punggawa Majapahit yang memihak para wali.
Ada empat sokoguru yang masing-masing disumbangkan Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Tiang di barat laut merupakan karya Sunan Bonang, di barat daya karya Sunan Gunung Jati, di bagian tenggara karya Sunan Ampel, dan yang didirikan di timur laut karya Sunan Kalijaga.
Tiang tersebut diletakkan pada empat penjuru mata angin berukuran besar dengan tinggi 17 meter. Keberadaan soko guru tersebut memiliki filosofi empat pilar utama ajaran Islam.
Pengurus Masjid Agung Demak menuturkan bahwa sebutan Soko Guru bagi empat tiang tersebut lantaran mengisyaratkan empat pilar utama dalam ajaran Islam. Yakni Alquran, Hadist, Ijma dan Qiyas.
Sedangkan tinggi tiang yang mencapai 17 meter juga memiliki arti bahwa tiap orang Islam berkewajiban menunaikan solat lima waktu, yang jika dijumlah semuanya menjadi 17 rekaat. Masing-masing subuh 2 rakaat, dhuhur 4 rakaat, ashar 4 rakaat, magrib 3 rakaat, dan isya 4 rakaat.
Namun, sokoguru dari Sunan Kalijaga yang paling nyentrik karena dibuat dari serpihan kayu (tatal) yang digabung jadi satu.
Ceritanya, saat itu Sunan Kalijaga diberi tugas untuk menyumbangkan kayu. Namun setelah waktu yang ditentukan tiba, murid-murid Sunan Kalijaga kebingungan karena kayu yang hendak dijadikan penyangga kurang.
Sunan Kalijaga tak kekurangan akal –entah ini dimasuk akal atau tidak tapi kenyataannya ada –ia melihat serpihan kayu dimana-mana. Lalu dengan keahliannya, Sunan Kalijaga menyatukan serpihan-serpihan itu menjadi satu.
Ajaib, serpihan itu pun bisa menyambung menjadi penyangga yang tak kalah kuatnya dengan penyangga lain. Dari situlah sokoguru milik Sunan Kalijaga disebut ‘Soko Tatal’ alias ‘Tiang Tatal’.
Tiang seperti ini juga terdapat di satu masjid lagi, yaitu masjid Agung Cirebon, yang konon juga merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Cuma sampai sekarang tidak ada data yang pasti kapan berdirinya Masjid Agung Demak.
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia, yang disusun Prof. Dr. Harun Nasution, tahun berdiri masjid tersebut dilambangkan dengan gambar petir di pintu masuk yang disebut Lawang Bledheg. Ini dianggap sebagai candra sengkala memet (penanda waktu) berupa Naga Salira Wani, yang dirujukkan ke tahun 1388 Caka alias 1466 Masehi.
Rujukan lainnya adalah mbar kura-kura yang terpampang di tembok mihrab. Kepala kura-kura ditafsirkan 1, kaki = 4, badan = 0 dan buntut = 1. Hasilnya 1401 Caka alias 1479 Masehi. Tapi masih ada satu rujukan lagi, yaitu piagam peraksara Jawa di pintu depan bagian atas. Dalam prasasti itu disebutkan, masjid ini dibangun pada 1 Zulkaedah 1428 Hijriah atau 1501 Masehi. Namun Babad Demak menyebut angka 1399 Caka.
Bangunan Masjid Agung Demak memang menarik untuk disimak. Bangunan utamanya berupa joglo dengan tiga lapis atap. Ketiga lapis itu melambangkan tiga tingkatan dalam tasawuf. Dari bawah ke atas melambangkan syariat, tarikat, dan makrifat.
Dalam catatan Dinas Purbakala Jawa Tengah, masjid yang kini menjadi benda cagar budaya ini berdiri di atas lahan 11.220 meter persegi. Bangunan induk dan serambi meliputi 1.311 meter persegi. Ditipang dengan empat sokoguru, masing-masing tingginya 19,54 meter dan bergaris tengah 1.45 meter. Interior masjid diperkuat dengan 16 pilar dari kayu utuh berdiameter 60 sentimeter. Di belakang masjid terdapat makam Raden Patah dan sejumlah bangsawan Demak.
Sampai sekarang Masjid Demak menghidupi dirinya sendiri. Tak ada bantuan dari pemerintah. Perawatan dan gaji karyawan mengandalkan uang infak dari wisatawan. Namun beberapa dari mereka tetap yakin bahwa Masjid Agung Demak tetap dijaga Eyang Sunan, demikian seperti diakui pengurus masjid yang mengaku pernah berdialog dengan mereka ketika beritikaf di dalam masjid. Eyang Sunan yang dimaksud adalah Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Muria.
Tertua Tapi Bukan Yang Tua
Setelah masjid Demak, sejumlah masjid purba pun mulai “bergoyang” di antara ketidakpastian data. Salah satunya masjid Agung Cirebon yang dikenal sebagai masjid tertua di Jawa.
Konon pembangunannya mendahului pembangunan Masjid Agung Demak. Tapi banyak pihak yang menyangsikan kesimpulan ini. Termasuk Sultan Kasepuhan Cirebon, Pangeran Raja Adipati H. Maulana Pakuningrat, yang secara garis keturunan bersambung ke atas dengan Syarif Hidyatullah alias Sunan Gunung Jati.
Sebuah sumber menyebutkan, masjid ini dibangun pada 1422 Caka alias 1500 Masehi. Sumber lain mengatakan, masjid tersebut dibangun pada 1498 Masehi.
“Setahu saya masjid ini dibangun setahun setelah Masjid Agung Demak,” mengutip kata-kata Sultan Kasepuhan.
Masjid Agung Cirebon juga dikenal sebagai Masjid Agung Kasepuhan. Tetapi nama aslinya adalah Masjid Sang Cipta Rasa. Satu hal yang tak bisa dibantah, masjid ini dibangun pada masa Sunan Gunung Jati.
Dulu, di majid ini pernah digelar sidang Wali Sanga untuk mengadili Syekh Siti Jenar. Dan jangan lupa, Syeh Siti Jenar itu juga wali, cuma ajarannya mungkin mendahului jamannya, sehingga bisa membingungkan orang awal. Lalu jenazah Syeh Siti Jenar –usai dieksekusi Sunan Kudus –dimakamkan di Kemlaten, masuk kawasan Indramayu.
Di antara ‘masjid wali’ –Majid Demak dan Ampel –Masjid Agung Cirebon bisa dibilang paling utuh. Tiang-tiangnya yang terbuat dari kayu jati abad ke 16 masih tegak perkasa, walau kini dikelilingi lempengan besi penyangga untuk menjamin kekokohannya.
Tapi yang paling istimewa dari masjid ini adalah azan pitu, yaitu azan yang dikumandangkan oleh tujuh muazin berbarengan pada setiap jelang sholat Jumat. Seperti halnya masjid wali lainnya, Sang Cipta Rasa juga secara teratur menerima kunjungan tak hanya dari sekitar Cirebon, melainkan juga dar berbagai daerah, termasuk luar Jawa dan mancanegara.
Sementara sekitar 30 kilometer dari Demak arah ke timur, terletak kota Kudus. “Inilah satu-satunya kota di tanah Jawa yang namanya berasal dari bahasa Arab,” kata Prof. Dr. R.Ng. Poerbatjaraka (1884-1964), ahli bahasa dan kebudayaan Jawa.
Kudus, secara kontemporer lebih dikenal sebagai kota industri rokok kretek. Tetapi pada awal perintisan Islam di Pulau Jawa, di sini pernah bermukim Ja’far Shodiq, yang kelak lebih termasyur sebagai Sunan Kudus, satu di antara Wali Sanga.
Di antara masjid peninggalan Walisanga, Masjid Kudus lah yang paling sulit dilacak bentuk aslinya. Padahal masjid tersebut didirikan paling akhir, pada 956 Hijrih atau 1549 Masehi. Nama asli masjid ini hampir tak dikenal orang, yakni Masjid Al-Aqsha. Kini, lebih popular sebagai Masjid ‘Menara’ Kudus, sebab bangunannya merujuk pada corak Hindu di sisi kanan depan masjid.
“Boleh jadi, menara tertua di Jawa adalah Menara Kudus,” tulis Dr. G.F. Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947). Kalau Pijper benar, menara itu sudah berdiri sebelum Masjid Al-Aqsha dibangun.
Diceritakan, saat itu Sunan Kudus memang terkenal bijak mendekati para penduduk Kudus yang menganut kepercayaan Hindu. Sampai sekarang, misalnya, di kota Kudus tidak diperdagangkan daging sapi.
Menurut penduduk, larangan menyembelih dan memperdagangkan daging sapi ini merupakan wasiat Sunan Kudus untuk menjaga hati para penganut Hindu, bahkan setelah mereka memeluk agama Islam. Dengan cara itu Sunan Kudus berhasil mengislamkan Kudus.
Sementara Menara Kudus sendiri tak jelas kapan dibuatnya. Berdasarkan candra sengkala yang terdapat di bagian atap menara, “gapura rusak ewahing jagad,” Prof. Dr. Soejipto Wirjosuparto merujuk ke tahun Jawa 1609 atau 1685 Masehi.
Tapi tafsir ini sangat meragukan. Kalau tafsir ini benar, menara itu jadinya dibangun 136 tahun setelah Masjid Kudus berdiri, sesuatu yang sulit diterima akal sehat.
Di samping menara, bagian unik Masjid Kudus adalah sepasang gerbang purba yang justru terdapat di ruang dalam masjid. Konon, itulah sisa gerbang Masjid Kudus yang asli, disebut ‘Lawang Kembar’. Berbeda dengan Sunan Gunung jati dan Sunan Kalijaga, yang dimakamkan jauh dari kompleks masjid, Sunan Kudus, pencipta gending Maskumambang dan Mijil itu dimakamkan masih dalam kompleks dan terbuka untuk para peziarah pada hari dan jam tertentu.@nov
*) Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
abad.id-Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang namanya melegenda. Setiap tulisan-tulisannya dibuat semasa berada di penjara. Dan memang hampir separuh hidupnya dihabiskan di penjara. Tulisan Pram juga membawa musibah sekaligus berkah. Berkahnya, dia berhasil membuka mata dunia. Musibahnya, buku-bukunya dilarang terbit.
Abad.id Sudah dua pekan lelaki itu dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya waktu tidak berpihak padanya. Baginya, waktu telah selesai. Kontrak hidup tinggal menunggu hari saja. “Saya sudah lelah dirawat di rumah sakit,” itu kata Pram sebelum menutup mata selama-lamanya.
Sastrawan hebat itu menutup mata pada usia 81 tahun, tepat Minggu, 30 April 2006. Terbaring di tempat tidur memang sudah menjadi langganannya. Dalam sepekan terakhir sebelum pergi, ia bahkan tak bisa lagi meninggalkan tempat tidurnya. Meski dokter sempat menancapkan selang infus, sastrawan yang baru saja mendapatkan penghargaan The Norwegian Authors Union ini tetap menolak dirawat di rumah sakit. Sudah bosan, katanya.
Jadilah istri Pram, Maemunah Thamrin, yang umurnya juga sudah tiga perempat abad, setia menunggui Pram di rumah mereka di Jalan Warung Ulan, Bojong Gede, Bogor.
Banyak cerita mengenai sastrawan hebat itu. Ia, katanya punya kebiasaan ajaib. Dari kamar tidur, ia gemar sekali menyorotkan sebuah lampu senter besar berkekuatan besar. Ia melakukan ini karena senang melihat barisan pohon menghijau di bukit jauh.
Bukannya itu kawasan Utankayu, Jakarta, yang jadi tempat tinggal novelis ini, ada bukit? Tentu tidak. Aksi sorot ini dilakukan Pram di rumah barunya di Bojonggede, sekitar 50 kilometer selatan Jakarta. “Kalau di Jakarta, yang kita lihat hanya tembok,” kata Pram beralasan.
Di rumah barunya, Pram menjumpai banyak cara untuk bergembira, misalnya melihat cucu bermain di pelataran, berkebun, atau tidur siang dengan bantuan masker oksigen. Membicarakan rumah itu sendiri juga mendatangkan keriangan baginya. Soalnya, kediaman Pram yang baru memang istimewa. Luas tanahnya 7.000 meter persegi, yang penuh dengan pohon buah-buahan. Pram mulai membeli tanah di sini pada 1980. Awalnya memang tak seluas itu. Namun, seiring dengan banjir royalti yang diterimanya, tanah di sekitarnya pun dibelinya.
Rumahnya sendiri baru selesai dibangun sebulan lalu. Pram sendiri yang merancang rumah senilai Rp 1 miliar ini. Berukuran 15 x 20 meter persegi, gaya tropis dengan sentuhan modern—empat pilar baja besar di bagian depan—jadi pilihan si empunya rumah. Rumah yang dicitakan jadi padepokan ini sebetulnya kurang praktis untuk Pram, karena ia harus naik-turun tangga bila ingin berjalan-jalan.
Namun, novelis ini tampaknya telanjur cinta. Soalnya, bukan cuma kesenangan baru yang datang. Sekian kegemaran lamanya masih bisa dilakukannya, termasuk yang paling favorit, yaitu membakar sampah. Bedanya, dulu, di rumah lama, yang dibakar benar-benar sampah—termasuk kiriman dari tetangga karena tahu Pram sangat gemar melakukan ini—kini Pram cukup puas dengan membakar tumpukan daun kering. “Saya senang mengamati api yang membakar dan membesar,” kata Pram.
Terinspirasi Sang Ibu
Pram memang memiliki kebiasaan unik, membakar sampah. Tetapi sampah-sampah itu dibakar lantaran traumatiknya yang mendalam terhadap kejadian masa lalu. Saat membakar sampah, matanya selalu terpejam. Jadilah, perjalanan masa lalu itu kembali dikenangkannya.
Saat itu zaman revolusi kemerdekaan, kata orang. Namun pada hari itu seorang bayi mungil dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Oleh ibunya, dia diberi nama Pramoedya Ananta Toer. Ibu itu tidak tahu anaknya bakal menjadi orang besar, kelak. Tapi Pram tahu kalau ibunya adalah orang hebat. Ibunya memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya. Itu dikatakan Pram setelah tulisannya jadi. Katanya terinspirasi dari ibu.
Karakter kuat seorang perempuan inilah yang dikisahkan Pram dalam setiap karangan fiksinya. “Seorang pribadi yang tak ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun,” kata Pram.
Melihat kembali ke masa lalu, Pram seperti melihat “revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan (ibunya)”. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun.
Setelah ibunya meninggal, Pram dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pram masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai. Namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pram, sastrawan hebat itu tidak lulus.
Pram lantas bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenographer. Selanjutnya, ia di jurnalis.
Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda (tahun 1945), Pram bergabung dengan para nasionalis. Dia bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), itu ditulisnya selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949).
Setelah Indonesia merdeka (tahun 1949), Pram kembali menghasilkan beberapa novel. Dan sekali lagi, karyanya itu ditulis sewaktu di penjara. Saat itu ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949). Ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa.
Karangan yang ditulis Pram dipenjara adalah Keluarga Gerilya (1950). Buku itu menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.
Cerita-cerita singkat lain yang dikumpulkan adalah Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950). Semua ditulis sewaktu dia di dalam penjara.
Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pram bersimpati kepada PKI. Dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi “onderbow” atau “mantel” PKI.
Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI.
Tak lama, pecah G30S-PKI. Pram yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat–onderbouw Partai Komunis Indonesia–ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979.
Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil.
Selama di pulau buru, Pram banyak bercerita. Saat itu lahirkan Tjerita dari Blora (1952). Cerita itu terinspirasi dari ibunya. Ia menggambarkan betapa kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah.
Memasuki rezim orde baru, kesenggangan antara WNI keturunan Tionghoa dan pribumi sangat kentara. Rasialisme ini dipicu oleh beberapa orang dari kalangan elit Orba untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat.
Karya Monumental
Di tahun 1965-an, Soeharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina.
Mengikuti cara Amerika, Soeharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Soeharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, Pram ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965.
Meskipun Pram tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Soekarno. Kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah.
Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Gara-gara tulisan Pram, pemerintah lantas membuat skenario ‘asimilasi budaya’ dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang.
Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka.
Dijebloskannya dalam penjara seakan sebuah berkah dan musibah. Memang ia tidak bisa merasakan nimatnya kebebasan dan hak-haknya. Namun siapa sangka penjara yang ruangannya sempit itu kemudian mengharumkan namanya di seantero dunia melalui karyanya yang monumental dan menguncang dunia.
Pada tahun 1972, saat di penjara, Pram ”terpaksa” diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pram bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya.
Selama dalam pengasingan di Pulau Buru (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya.
Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya. Dua volume lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri.
Ada pesan yang cukup menggugah dari seorang Pram. Begini katanya, ”Kita telah melawan, Nak Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Demikianlah akhir drama dan dialog dalam Novel Bumi Manusia. Dan, dalam perlawanan, seringkali manusia kalah. Melawan adalah alat dan bukan tujuan. Karena itu ketika tidak ada alat lainnya, hanya dengan melawan maka kehidupan akan didapatkan. Melawan adalah cara untuk ”merendahkan mereka yang berkuasa dan menaikkan mereka yang terhina.”
Begitu hipotesa Pram di akhir Novel Rumah Kaca. Melawan memang milik sedikit orang. Ia hanya dipunyai para pejuang dan pahlawan. Ia menjadi ciri kaum idealis dan ”kesejatian”.
Jadi, ia langka dan agak susah dipahami. Terutama bagi ”yang menang dan berkuasa”. Bagi mereka selalu ada tanya, ”untuk apa melawan” jika kita merasa sudah mapan? Begitu susahnya kata dan perbuatan melawan, ia menjadi musuh bagi yang menggunakannya. Tapi, jangan berkecil hati. Perlawanan tak akan berhenti ketika keadilan belum menjadi bukti. Walau sekedar melawan dengan omongan. ”Ya Ma, kita sudah melawan. Biarpun hanya dengan mulut.” Inilah kalimat penutup Novel Anak Semua Bangsa.
Karya-karya (tetralogi-red) Pram ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.
Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1979, Pram dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah ‘bebas’, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Kini, belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Ia bagaikan potret seorang nabi. Dunia menghargainya, tetapi negeri sendiri malah memenjarakannya.
Karena prestasi Pram, ia memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilian menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia).
Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai “Asian Heroes”.
Daftar Buku Pram yang Dilarang
Buku-buku Pramoedya yang dilarang memang mengandung berkah. Karena dilarang, dia dicari, meski mutunya belum tentu terjamin. Karena itu, ada lelucon bahwa humas terbaik dari penjualan buku adalah pelarangan yang dilakukan Kejaksaan Agung. Tiba-tiba zaman sudah berubah, dan sesungguhnya daftar itu sudah tidak berguna lagi.
Apa boleh buat, karena daftar belum dicabut, berikut adalah sebagian nama-nama buku (dari terbitan 1910 hingga 1990-an) yang dilarang, baik oleh Kejaksaan Agung maupun instansi lain:
Bukan Pasar Malam (Pramoedya Ananta Toer)
Dia jang Menjerah (Pramoedya Ananta Toer)
Gulat di Djakarta (Pramoedya Ananta Toer)
Mereka jang Dilumpuhkan (Pramoedya Ananta Toer)
Perburuan (Pramoedya Ananta Toer)
Pertjikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Sekali Peristiwa di Banten Selatan (Pramoedya Ananta Toer)
Subuh: Tjerita-Tjerita Pendidikan Revolusi (Pramoedya Ananta Toer)
Tjerita dari Blora (Pramoedya Ananta Toer)
Jejak Langkah (Pramoedya Ananta Toer)
Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer)
Anak Semua Bangsa (Pramoedya Ananta Toer)
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer)
Undang Berfikir Rakyat Berjuang (Ibnu Parna)
Dua Taktik Sosial Demokrasi di Dalam Revolusi Demokrasi (W.I. Lenin)
Komunisme Sajap Kiri (W.I. Lenin)
Totalitarian Dictatorship and Autocracy (Carl J. Friedrich)
Untuk Demokrasi dan Kabinet Gotong Royong (Aidit)
Ik ben een Papua (Zakarias Asawor)
Lima Jaman: Perwujudan Integrasi Wajar (Siauw Giok Tjhan)
Alam Barzah_Alam Kubur (Dalimi Lubis)
Modern Korea (Kim Byong Sik)
Sosialisme ala Indonesia (R. Moestopo)
Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya (Wahono Nitiprawiro)
Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik (Harry A. Poeze)
Runtuhnja Keradjaan Hindhu-Djawa dan Timbulnja Keradjaan-Keradjaan Islam di Nusantara (Slametmuljana)
Sabda Allah yang Diwahyukan Menurut Agama Islam dan Agama Kristen (P.A. Heuken S.J.)
Memperkenalkan Korps Muballigh Indonesia dan Pendiriannya Mengenai Pancasila Sebagai Azas Tunggal
The Indonesian Tragedy (Brian May)
Hari-Hari Terakhir Kekuasaan Soeharto (Benedict Anderson)
Indonesia di Bawah Sepatu Lars (Sukmadji Indro Tjahjono)
Siapa yang Sesungguhnya Melakukan Kudeta terhadap Soekarno (Y. Pohan)
Permesta, Kandasnya Cita-Cita
Seri Demokrasi: Kesaksian Kaum Muda
The Devious Dalang
Heboh Ayat-Ayat Setan
Amerika Serikat dan Penggulingan Soekarno
Pesona Seks Wanita
Menjaga Keseimbangan antara Kebutuhan Seks dan Kesehatan
Bertarung Demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung
Kasih yang Menyelamatkan (Herman O.T.M. Simanjuntak)
Geger Lampung dan Kaum Sempalan (P. Bambang Siswoyo)
Serat Darmogandul dan Sulak Gatoloco
Masa Depan Islam: Kilas Balik Abad Ke-14 (Dr. Muhammad Al Baby)
Wajah Dunia Islam Kontemporer (Dr. Ali Qarishah)
Dosa dan Penebusan Dosa Menurut Islam dan Kristen
Kristus dalam Injil dan Al Quran
Wajah Dunia Islam Kontemporer
Tanah untuk Rakyat
Kapitalisme Semu Asia Tenggara (Yoshihara Kunio)
Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-20
Perang Teluk: Islam akan Kembali Gemilang
Cina, Jawa, Madura dalam Konteks Hari Jadi Surabaya (Moch. Choesni)
Sebuah Mocopat Kebudayaan Indonesia (Joebaar Ayoeb)
Aurad Muhammadiyah Pegangan Darul Arqam (Ustadz Ashaari Muhammad)
Menyingkap Sosok Misionaris (Abdul Rasyad Shiddiq)
Demokrasi di Balik Keranda (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia)
Presiden Soeharto Ikuti Jadual Allah (Ashaari Muhammad)
Oei Tjoe Tat Pembantu Presiden Soekarno (nov)
*Diolah dari berbagai sumber
Author Abad
20.12.22
Laporan: N. Aji
abad.id-Brem Madiun melegenda. Diwariskan turun temurun. Sudah ada sejak jaman penjajah. Dikenal di dalam dan luar negeri. Di luar negeri, brem dibawa para TKI. Hingga muncul banyak pesanan. Uniknya, petani Kaliabu sebagai perajin brem tidak tahu jika penganan olah tangannya itu telah dicicipi orang-orang dari luar negeri.
------------------
Salah satu makanan manis yang melegenda di Madiun adalah brem. Penganan ini terbuat dari sari beras ketan. Rasanya manis-manis kecut. Terasa adem di lidah. Penuh sensasi. Kue tradisional khas Madiun ini terbukti disuka banyak orang.
Brem cukup populer. Semua kalangan bisa membeli. Bisa memakan. Orang tak bergigi sekalipun dapat menikmati enaknya brem dengan yang bergigi lengkap. Sebab penganan ini cukup dikulum, tanpa dikunyah. Makanan ini sudah lumat sendiri.
Ya, brem memang makanannya semua umur. Orang-orang yang berkunjung ke Madiun, pulangnya tidak afdol jika tidak bawa oleh-oleh khas ini.
Produksi brem tidak hanya di Madiun. Di Wonogiri, Jawa Tengah, juga ada brem. Di Bali dan Nusa Tenggara Timur juga ada. Pembuatan brem di setiap daerah berbeda-beda. Punya ciri khas sendiri-sendiri. Misalnya brem Madiun warnanya kuning keemasan, sedangkan brem Wonogiri berwarna putih.
Di Madiun, pusat produksi brem berada di Desa Kaliabu, Kecamatan Mejayan dan Desa Bancong, Kecamatan Wonoasri. Dua desa ini berlokasi di Caruban. Di situ terdapat rumah-rumah produksi brem yang dikelola oleh industri rumahan dengan skala usaha mikro kecil dan menengah.
Hingga saat ini belum ada penjelasan secara pasti sejarah brem. Namun dari berbagai sumber disebutkan brem sudah ada sebelum Belanda menjajah tanah air. Buktinya apa?
Buktinya dari cerita ke cerita. Dari turun temurun. Salah satunya Marsiyem. Dia tidak ingat usianya. Tahun berapa dilahirkan. Namun Marsiyem bercerita sejak kecil akrab dengan brem.
Saat itu di usianya yang masih belasan tahun, dia sudah mampu membuat brem. Gurunya Mbah Lurah Dusun Bodang. Sayang sekali dia tidak pernah tahu darimana Mbah Lurah mendapatkan ilmu membuat brem dan mengapa pula dinamai brem.
Marsiyem juga ingat, untuk kulakan bahan baku dan peralatan membuat brem, dia harus menempuh pejalanan cukup jauh menuju Madiun.
Tumpangannya sepur kluthuk (kereta jaman Belanda berbahan bakar kayu) yang menyemburkan asap hitam pekat saat melaju, dan jika sudah turun dari sepur di hidung masing-masing penumpangnya akan menyumpal/anges (jelaga) hitam.
Dari Dusun Bodang, brem kemudian menyebar ke dusun-dusun lain di sekitarnya di wilayah Desa Kaliabu. Masing-masing Dusun Sumberjo, Lemah Ireng, Tempuran dan Kaliabu.
Di lima dusun di Desa Kaliabu tersebut, hanya Dusun Tempuran yang hingga kini masih memiliki perajin brem paling banyak.
Dusun-dusun lainnya sudah lama beralih profesi karena gerusan jaman. Mereka memilih bercocok tanam, atau bermigrasi ke kota Madiun dan kota besar Jawa Timur lainnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Sedang Marsiyem, adalah segelintir generasi pertama yang masih setia mendampingi produksi panganan yang bercitarasa semriwing nan manis ini.
Resep dan cara pembuatan brem diwariskan turun temurun. Bedanya, zaman dulu brem dijual tanpa merek. Kini, pengusaha melabeli produknya untuk memudahkan promosi dan menggaet pembeli.
Di Madiun, sebagian besar merek brem menggunakan nama suling seperti Suling Mas, Suling Gading, Suling Mustika, dan Suling Istimewa.
Meski brem populer sejak lama, namun tidak ada yang tahu pasti mengapa makanan berbentuk kotak-kotak persegi panjang berwarna kuning keemasan itu disebut dengan brem. Makanan tradisional khas Kabupaten Madiun tersebut nyaris seperti legenda.
Brem Berinovasi
Di Desa Kaliabu terdapat sekitar 60 industri rumahan skala usaha kecil menengah yang memproduksi brem. Setiap usaha mempekerjakan sekitar 3-10 orang karyawan sehingga total tak kurang dari 500 orang yang bergelut di dalamnya. Dengan asumsi per pekerja menjadi tulang punggung bagi keluarga, dan setiap keluarga beranggotakan tiga jiwa, maka 1.500 jiwa menggantungkan hidupnya dari usaha ini.
Brem Madiun juga menggairahkan usaha perdagangan dan jasa. Ini karena banyak produsen yang tidak menangani perdagangan, melainkan memilih berkonsentrasi terhadap kegiatan produksi.
Saat ini terdapat lebih dari 100 toko yang menjual brem secara khusus maupun bersama barang atau makanan lainnya. Itu belum termasuk pedagang asongan yang menawarkan brem di atas bus antarkota antarprovinsi dan dari satu gerbong kereta api ke gerbong lain.
Dari kegiatan ini banyak pihak telah terlibat sehingga perekonomian tidak hanya dikuasai oleh satu kalangan. Kelompok Brem Jaya Makmur merupakan sebuah kelompok UKM brem di Desa Kaliabu. Kelompok ini terdiri dari gabungan 7 UKM brem di Desa Kaliabu yang dibina oleh pemerintah setempat. Kelompok ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas produksi para UKM brem di Desa Kaliabu.
Hingga saat ini kegiatan produksi masih berlangsung pada masing-masing lokasi anggota UKM. Potensi Kelompok Brem Jaya Makmur sebagai kegiatan kelompok UKM ingin diangkat untuk dapat dikembangkan lagi menjadi badan usaha yang lebih besar.
Sekalipun hampir semua warga membuat brem, namun hanya beberapa yang menyeriusi usahanya dengan mengurus legalitas hukumnya dan memiliki izin dari Depkes RI. Di antaranya adalah perusahaan brem cap Bangku Kencana, Kondang Rasa, Tongkat Mas, dan Madurasa yang telah mengurus izin yang berbentuk UD (usaha dagang).
Mereka yang mengurus izin usaha ini umumnya yang berpengalaman dan bermodal. Selebihnya, petani membuat brem sebagai penghasilan rumah tangga. Karenanya, hanya empat orang yang memiliki izin itu yang mampu memasarkan produknya secara mandiri dan bermodal.
Pembuatan brem Madiun tidak berhenti di satu rasa. Tentu butuh inovasi agar dapat mempertahankan kualitas. Kini, muncul varian rasa brem seperti rasa cokelat selain rasa aslinya.
Sejak 20 tahun terakhir, brem mulai memiliki banyak rasa. Ada rasa melon, durian, coklat, strawberry, mangga dan rasa buah-buahan lainnya. Bahkan belakangan ada pengusaha yang berhasil melakukan diversifikasi dengan memproduksi brem cair.
Pemilik brem merk Brem Rumah Joglo, Yahya dan Budiati mengungkapkan dari jaman dulu, brem memiliki kemasan yang begitu-begitu saja, yaitu dikemas dalam kardus kotak dengan warna kuning.
“Rasanya juga begitu-begitu saja dari jaman kakek buyut saya. Nah, karena inilah kami ingin melakukan inovasi brem agar tampil lebih modern. Salah satu inovasi yang kami lakukan adalah membuat brem aneka rasa dan mengemasnya dalam kemasan yang berbeda dan unik,” ujar keduanya.
Yahya merupakan generasi ke-5 perajin brem. Tepatnya sejak tahun 1942. Brem Rumah Joglo milik Yahya ini tetap berupaya menjaga kelestarian brem padat sebagai bentuk penghormatan kuliner leluhur.
Brem original yang merupakan resep asli generasi pertama, tidak dihilangkan. Bahkan, untuk menjaga cita rasanya, Yahya mengaku proses pembuatan bremnya merupakan resep turun temurun.
Berbeda dengan brem merk lain yang ada di toko, Brem Rumah Joglo memang di luar mainstream, karena brem tersebut memiliki banyak varian sara serta bentuk.
“Coba Anda cari di toko oleh-oleh, rasa brem yang paling banyak cuma ada 6 rasa. Sedangkan di tempat kami, bisa mencapai 15 rasa dan memiliki bentuk yang berbeda. Hal inilah yang membuat kami menjadi pede dalam memasarkan produk kami,” tambahnya.
Kendati demikian, rasa original brem tetap dipertahankan. Namun kemasannya diganti lebih modern.
Praktik Tidak Elok
Sejak banyak pilihan rasa, brem Madiun mampu merambah pasar hingga mancanegara seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan Hongkong. Sekalipun nilainya belum besar, setidaknya cukup menjadi bekal berpromosi di negara lain.
Brem yang dikenal di luar negeri itu awalnya dibawa oleh para TKI. Lambat laun ada permintaan dari negeri itu melalui toko-toko penjual makanan dan oleh-oleh di Surabaya, Bali, dan Jakarta.
Hasil karya petani Kaliabu memang menjadi produk unggulan sehingga Madiun mendapat julukan sebagai Kota Brem. Namun petani Kaliabu tetap hanya sebagai produsen. Soal pemasaran mereka tidak tahu sama sekali. Sebab, produknya itu semuanya langsung diambil oleh pengusaha toko penjual oleh-oleh di kota. Sehingga mereka tidak tahu jika penganan olah tangannya itu telah dicicipi orang luar negeri. Maklum, para pembuat brem mayoritas adalah petani desa yang berpendidikan rendah.
Perajin umumnya melempar hasil produknya ke toko makanan dan kue di kota. Oleh karena itu, brem karya petani Desa Kaliabu dikemas dalam bungkus yang rapi dan diberi merek. Tentunya merek tersebut adalah merek toko yang bersangkutan, yang telah membelinya dari petani. Jadi, jangan heran kalau pembeli sekarang langsung mencari merk-merk yang memang desain kemasannya lebih bagus daripada kemasan produsen aslinya.
Para perajin brem sama sekali tak keberatan toko langganannya itu memakai merknya sendiri. Bagi mereka yang penting dagangannya terbeli dan uang hasil penjualan segera di tangan. Sikap tidak mau repot lalu menempuh jalan pintas inilah yang merugikan produsen asli brem.
Pasalnya banyak toko umumnya mengaku punya perusahaan brem sendiri di Kaliabu. Mereka tidak mau mempromosikan merk lain selain merk miliknya. Sebenarnya dengan menampung brem merk produsennya, toko-toko sudah mendapat untung lumayan. Namun pemilik toko rata-rata menginginkan jalan pintas. Pembeli tetap memilih brem bermerk nama toko.
Sesama perajin di desa tentu tahu persis praktik seperti itu. Tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Mereka seakan terperangkap di negeri sendiri.
Sementara tidak sedikit perajin yang masih menjaga ideologinya dengan mempertahankan merknya sendiri. Mereka masih rajin masuk keluar toko sambil memberi contoh brem produksinya. Harapannya, dengan mengandalkan mutu yang lebih baik brem miliknya akan bisa laku dijual oleh toko-toko itu.
Jadi sebenarnya brem yang dipasarkan di toko-toko makanan dan toko oleh-oleh dengan berbagai merek itu semuanya hasil produksi petani Desa Kaliabu.
Semua perajin adalah kalangan petani desa yang tidak memiliki kemampuan di bidang pemasaran. Mereka hanya bisa memproduksi tanpa bisa melakukan penjualan produknya. Sehingga pemasarannya hanya menunggu kedatangan pedagang dari kota. Termasuk brem yang sudah terbang ke Singapura dan Hongkong itu dieskpor oleh mereka.
Ya, hampir seluruh warga di desa itu memang menjadi perajin tradisional kue brem. Namun kini yang masih aktif berproduksi hanya sekitar 52 KK (kepala keluarga). Sedangkan yang lainnya memproduksi jika hendak datang hari besar. Misalnya menjelang lebaran atau tahun baru. Kalau semua berproduksi, di desa ini ada sekitar 150-an KK yang membuat brem.
Ketika menjelang lebaran tiba, setiap petani Kaliabu mampu memproduksi 10-15 kuintal bahan baku beras ketan. Dari jumlah itu setelah diproses masing-masing kuintal beras ketan menghasilkan brem sekitar 100-200 pak. Ramainya pesanan menjelang lebaran itu membuat semua warga praktis sibuk membuat brem.
Selama ini perajin brem tetap berkembang secara tradisional. Baik dari prosesing, pemasaran, dan permodalannya. Perajin brem masih memanfaatkan lahan pertaniannya sebagai modal. Yakni, memproduksi brem setelah berhasil memanen tanamannya atau memanen beras ketan yang ditanamnya. Karena mereka umumnya petani miskin. Mereka baru memproduksi brem setelah berhasil memanen beras ketan dari padi yang ditanamnya.@
Author Abad
20.12.22
Laporan: N. Aji
abad.id-Tidak banyak orang percaya dengan karomah yang dimiliki ulama. Saat itu kehebatan para ulama sangat ditakuti penjajah. Kiai Qosim masih ingat ketika dia diberi tusuk sate (sujen) yang ditanam di tanah. Aneh, saat itu Kiai Qosim tidak bisa dilihat Belanda.
------------
Wajahnya renta, penuh keriput, menunjukkan usia yang tak lagi muda. Maklum, sudah 87 tahun. Semua rambutnya memutih. Tubuhnya agak membungkuk, mungkin karena sudah dimakan usia.
Duduk di ruang tamu sendirian sembari mulutnya komat kamit berdzikir menyebut asma Allah. Di samping tempat duduknya ada banyak kitab. Bertumpuk. Tebal. Dia tampaknya tak mau jauh dari kitab-kitab tersebut. Barangkali sudah ‘makanan’ sehari-harinya.
Di kediamannya Pondok Pesantren Bahauddin Al-Islami, Ngelom, Sepanjang, Sidoarjo, Jawa Timur, wajah sumringah almarhum Kiai Sholeh Qosim menyambut. Meski usianya sudah renta, namun tutur kata dan gesturnya masih gesit.
“Tadi berpapasan dengan jenderal tidak pas ke sini?” Tanya ulama yang punya julukan Kiai Ngelom. Ya, baru 10 menit lalu beliau kedatangan seorang jenderal bintang satu dari Surabaya. Tidak diceritakan dengan jelas siapa jenderal yang dimaksud.
Kiai Qosim memang tidak asing dengan para tentara Indonesia. Pada peringatan HUT ke-72 TNI yakni 5 Oktober 2017 lalu, almarhum Kiai Qosim sempat membuat heboh publik Tanah Air dan negara tetangga ASEAN. Pasalnya dalam peringatan HUT ke-72 TNI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan potongan tumpeng kepada tiga orang yang dianggap berjasa pada perjuangan bangsa pilihan TNI, yaitu Paimin, Kiai Qosim, dan Pangkostrad Letjen Rachmayadi.
Diperkenalkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dalam pidatonya saat itu, Paimin tergabung dalam Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan pada tahun 1949 ikut dalam agresi militer I dan II di Yogyakarta. Dia juga pernah bergabung dalam Batalyon 439, 413 dan Kostrad Jakarta. Selama itu dia ikut menumpas DI/TII di Sumatera dan sisa PKI di Jateng. Saat ini usia Paimin 92 tahun.
Lalu ada Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, Letjen Edy Rahmayadi, yang menjadi Komandan Upacara dalam peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-72 TNI.
Kemudian Kiai Qosim diperkenalkan sebagai pengasuh Ponpes Bahauddin Al-Islami Sidoarjo. Saat perang kemerdekaan, dia pernah bergabung menjadi anggota Laskar Sabilillah tahun 1943 dan berjuang pada 10 November di Surabaya.
Tak lupa, setelah Jokowi memberi potongan tumpeng, dia sempat mencium tangan Kiai Qosim.
Sejak itu sejumlah kalangan bertanya-tanya siapa Kiai Qosim. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nachrowi kala itu bahkan mondar-mandir ditanya banyak orang terkait sosok Kiai Qosim yang mendapat tempat istimewa di hati Presiden Jokowi dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
“Saya ditelepon Imam Nachrowi. Dia cerita ditanya banyak orang setelah acara itu (HUT ke-72 TNI). Saya ditanya kok bisa sampai begitu. Ya saya jawab tidak tahu. Saya cuma diundang saja,” kata Kiai Qosim menjawab pertanyaan Menpora.
Sesepuh NU Sidoarjo tersebut menceritakan sebelumnya ditelepon Gatot Nurmantyo. Dia diundang untuk datang ke Cilegon, Banten. Gatot mengatakan bahwa Kiai Qosim harus datang karena acara tersebut sangat penting. “Panglima bilang saya harus hadir di Cilegon pada tanggal 3 Oktober. Nanti akan ada orang yang menjemputnya. Semua sudah dipersiapkan,” cerita pria yang lahir di Sidoarjo tahun 1930, bulan dan hari tidak ingat.
ikut aktif menyukseskan acara 171717 yang diinisiasi oleh TNI, yaitu membaca Alquran (hataman) serentak pada tanggal 17 Agustus 2017 pukul 17.00 WIB. Menurut dia, baca Alquran serentak itu penting demi persatuan bangsa karena didengar langsung oleh 70 ribu malaikat.
Ditugaskan Mencuri Senjata Belanda
Peran pejuang Muslim dan santri di era kemerdekaan sangat penting. Pantas Jenderal Gatot selalu berkata kaum Muslim adalah benteng atau pertahanan terakhir Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hal ini didasarkan pada fakta sejarah pada kurun 1943-1945, kaum Muslim terlibat dalam perjuangan mempertahankan NKRI. Saat itu hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar jihad. Paling populer dan dikenal hingga sekarang adalah Laskar Hizbullah (Tentara Allah) dan Sabilillah (Jalan Allah). Simbol yang mereka pakai adalah tulisan tauhid Laa Ilaaha Illallah Muhammadarrosulullah.
Pembentukan laskar ini didahului oleh Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada 22 Oktober 1945. Namun pembentukan ini tidak mudah. Kiai Qosim bercerita, saat itu Kiai Hasyim Asyari, pendiri NU, sowan ke kediaman Kiai Cholil Bangkalan. Dia mengutarakan maksud dan tujuan.
“Oleh Kiai Cholil, Kiai Asyari disarankan membaca surat Ghafir sebanyak 99 kali selama 41 hari. Kalau jaman sekarang kita membayangkan saja susah, meski hafal surat tersebut. Tapi para ulama saat itu, terlebih Kiai Asyari begitu yakin dengan kekuatan Alquran. Usai menyelesaikan bacaannya, Kiai Asyari langsung menemui ayahnya. Namun tanpa mengutarakan maksud, sang ayah langsung menyuruh Kiai Asyari meneruskan apa yang hendak dilakukan,” terang Kiai Qosim.
Walhasil, berbekal kematangan ilmu Kiai Asyari, seluruh ulama-ulama dikumpulkan. Maka dibentuklah laskar ahlussunnah wal jamaah yang berpedoman pada Alquran, Hadist, Ijma’, dan Qiyas. Pada 21 Oktober 1945, para kiai se-Jawa dan Madura berkumpul di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 Oktober dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.
Di sinilah cikal bakal munculnya Laskar Sabilillah dan Hizbullah yang bertujuan untuk membantu perjuangan. Kedua laskar ini didirikan menjelang akhir pemerintahan Jepang, dan mendapat latihan kemiliteran di Cibarusah, sebuah desa di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Laskar Hizbullah berada di bawah komando spiritual Kiai Hasyim Asy’ari dan secara militer dipimpin oleh KH. Zaenul Arifin. Adapun laskar Sabilillah dipimpin oleh Kiai Masykur. Konon, pemuda pesantren dan anggota Ansor NU (ANU) adalah pemasok paling besar dalam keanggotaan Hizbullah.
Kata Kiai Qosim, Laskar Hizbullah dan Sabilillah memiliki tugas masing-masing. Laskar Hizbullah diisi dengan pejuang dan santri muda. Mereka turun dalam pertempuran fisik. Sedangkan Laskar Sabilillah diisi dengan kalangan ulama. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang dan olah fisik. Bahkan peristiwa-peristiwa perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji.
Meski tidak semua Laskar Sabilillah terjun ke medan tempur, tapi mereka selalu berada di belakang Laskar Hizbullah.
Kiai Qosim sendiri berada di tengah-tengah antara keduanya. Namun sebagai santri yang dekat dengan ulama, saat itu dia lebih banyak membantu perjuangan Laskar Sabilillah.
“Saya justru kebagian tugas mencuri. Tapi jangan disalahartikan, mencuri saya bukan dalam konotasi buruk. Saat itu banyak Laskar Hizbullah tidak memiliki senjata untuk berperang. Nah, saya ditugasi oleh para ulama untuk masuk ke benteng pertahanan musuh (Belanda) untuk mencuri senjata,” urainya.
Presiden Jokowi mencium tangan Kiai Qosim. Foto: repro
Ya, menyediakan persenjataan dan amunisi sudah menjadi tugas Kiai Qosim dan teman-teman seperjuangannya di Laskar Sabilillah. Namun untuk masuk ke markas musuh tidak sembarangan.
“Di sinilah peran ulama dan kiai. Mereka banyak yang memiliki karomah. Setiap mau bergerak, kita selalu diberi doa-doa khusus. Masuk ke jantung pertahanan musuh kita selalu dibekali pasir. Bekal itu kita sebar ke markas musuh. Alhamdulillah dengan itu kita menjadi orang yang tidak terlihat oleh musuh. Dan setelah senjata dikuasai, senjata-senjata itu kemudian diserahkan ke Laskar Hizbullah,” ujar Kiai Qosim.
Diakui Kiai Qosim, memang tidak banyak orang percaya dengan karomah yang dimiliki ulama, apalagi di jaman sekarang orang cenderung meremehkan ulama. Jujur, saat itu kehebatan para ulama sangat ditakuti penjajah. Kiai Qosim masih ingat ketika dia diberi tusuk sate (sujen) yang ditanam di tanah.
“Saya baru percaya setelah melakukannya sendiri. Begitu sujen ditanam, Belanda di depan saya tidak bisa melihat,” tuturnya.
Kehebatan lain, ada ulama Sabilillah asal Cirebon yang cukup menunjuk pesawat Belanda yang melintas, tak lama pesawat tersebut jatuh.
“Itu kalau bukan golongan waliyullah tidak bisa. Bayangkan cuma menunjuk pesawat saja bisa jatuh. Ada lagi laskar Sabilillah yang melawan tank musuh dengan ketapel diisi dengan krikil/batu. Tapi berkat doa para kiai, tank-tank itu bisa hancur,” ungkap Kiai Qosim.
Akhirnya laskar Sabilillah dan Hizbullah tetap maju ke garis terdepan pertempuran untuk meningkatkan semangat perjuangan para prajurit. Hasilnya, wilayah Surabaya menjadi sangat sulit ditaklukkan oleh pasukan sekutu dan pertempuran berlangsung berlarut-larut.
Laskar Sabilillah dan Hisbullah. Foto: repro
Pada akhirnya, pertempuran di Surabaya benar-benar berhenti ketika digelar gencatan senjata pada 14 Oktober 1946. Laskar Sabilillah menunjukkan bahwa perjuangan dan jihad yang dilakukan oleh umat Islam merupakan salah satu penyokong dari bertahannya kemerdekaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Peran kiai dalam perang kemerdekaan ternyata tidak hanya dalam laskar Hizbullah-Sabilillah saja, tetapi banyak di antara mereka yang menjadi anggota tentara PETA (Pembela Tanah Air) yang merupakan cikal bakal terbentuk TKR, ABRI atau TNI. Dan enam puluh bataliyon tentara PETA, hampir separuh komandannya adalah para kiai.@
Author Abad
20.12.22
Penulis : Nanang Purwono
Abad.id-Balai Kota adalah lambang supremasi pemerintahan di wilayah kota. Di sana sistim pemerintahan dan kekuasaan tertinggi pemerintahan kotamadya atau kota. Kota Surabaya memiliki lambang supremasi pemerintahan itu di Ketabang.
Balai Kota Surabaya, yang diarsiteki oleh arsitek Cosman Citroen, mulai dibangun pada 1925 dan diresmikan pada 1927. Pembangunan Balai Kota ini dikerjakan di masa walikota Dykerman, walikota Surabaya kedua, yang berkuasa mulai 1920 - 1926.
Siapakah walikota Surabaya pertama? Adalah A. Meijroos yang menjabat mulai 1916-1920. Mayroos terlibat dalam proses awal perancangan, yang selanjutnya dilakukan melalui sayembara seperti bagaimana kota Rotterdam mendapatkan design Balai Kota.
Mengapa perlu kantor Balai Kota baru?. Sejak lahirnya Pemerintah Kota Surabaya pada 1 April 1906, Kota Surabaya tidak memiliki kantor. Pada awalnya pemerintah Kotamadya Surabaya menumpang di Kantor Residen Surabaya yang berlokasi di barat Jembatan Merah.
Jadi, di bangunan yang menghadap ke Kalimas itu ada Kantor Karesidenan Surabaya dan Kantor Kotamadya Surabaya (Balai Kota atau Stadhuiz). Sebuah bukti bahwa gedung ini juga berfungsi sebagai Balai Kota (Stadhuiz) adalah nama jalan yang persis di belakang Kantor Balai Kota. Jalan ini bernama Stadhuizsteeg atau Gang Balai Kota (sekarang jalan Gelatik).
Stadhuiz yang berarti Balai Kota menjadi bukti bahwa Pemerintah Kotamadya Surabaya pernah berkantor di Kantor Karesidenan Surabaya.
Tidak hanya menumpang di Kantor Karesidenan Surabaya, pemeritah Kotamadya Surabaya juga menyewa rumah untuk menjalankan administrasi Kotamadya Surabaya. Dari Kantor Karesidenan Surabaya, lalu pindah ke jalan Gemblongan, jalan Denverter, kawasan Tegalsari. Selanjutnya menempati gedung sendiri di Ketabang. Inilah Balai Kota Surabaya.
Pemerintah Kota Surabaya pada akhirnya membangun Kantor Balai Kota setelah masa masa yang cukup panjang jika dihitung mulai 1906 hingga 1925.
Gagasan membangun Kantor Balai Kota ini muncul dengan alasan sebagaimana ditulis oleh Joko Triwinarto Santoso dalam karya ilmiah yang berjudul "A Study of Architec Cosman Citroen (1881-1935) and His Works in Surabaya", Universiteit Leiden, 2010. Joko menjelaskan beberapa alasan.
Pertama, sentralisasi. Pemerintah perlu memusatkan segala aktivitas di satu tempat. Selama itu urusan urusan dan layanan pemerintah tersebar di berbagai tempat. Ini tidak efisien. Layanan yang sporadis ini pernah direview oleh walikota Dykerman dalam rapat Dewan Kota pada 27 April 1921.
Kedua, untuk mengamomodasi bertambahnya urusan dan layanan. Bertambah tahun kota Surabaya kian berkembang dan semakin banyak urusan dan layanan yang harus dikerjakan. Butuh percepatan dan keakuratan layanan. Ini butuh satu tempat untuk memudahkan koordinasi. Dinamika ini terjadi setelah tahun 1913.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang bagus. Bahwa dari tahun 1910 hingga awal 1920-an pertumbuhan ekonomi di Surabaya meningkat. Banyak perusahaan dan Kantor Kantor dibuka di Surabaya dan ini semua membutuhkan layanan yang baik dan cepat. Maka perlu Kantor Balai Kota.
Keempat, harga sewa properti naik. Selama ini Kantor kantor pemerintah sifatnya sewa dan beban anggaran untuk ongkos sewa semakin besar. Lebih baik alokasi anggaran untuk investasi pembangunan daripada dibuang untuk sewa.
Sayangnya semua latar belakang untuk membangun Balai Kota ini tidak segera mendapatkan persetujuan Dewan Kota. Baru pada 1915, Dewan Kota menyetujui proposal pembangunan. Tahun 1916, A Meijroos menjadi Walikota pertama Surabaya dan segera mewujudkan rencana pembangunan Balai Kota.
Proses Alot
Setelah ada persetujuan dari Dewan Kota untuk pembangunan Balai Kota, ternyata proses pembangunan Balai Kota berjalan alot. Banyak perdebatan dalam prosesnya.
Pertama, ada ketidak sepakatan anggota dewan dengan langkah walikota Mayroos yang menunjuk langsung arsitek Citroen untuk design dan pembangunan Balai Kota. Menurut anggota dewan A. van Gennep dan J.M. Eschbach, perlu ada pembanding dengan C. Citroen. Karenanya harus ada sayembara mendesign Balai Kota. J.M. Eschback mencontohkan Kota Rotterdam bahwa dalam perancangan design Balai Kota dilakukan melalui sayembara.
Kedua, lomba design Balai Kota. Lomba ini butuh proses. Apalagi Citroen adalah peserta sayembara dan di Hindia Belanda tidak ada jury yang bisa menilai karya karya arsitek. Menurut Mayroos, jika jury didatangkan dari Belanda, belum tentu mereka mengerti kondisi dan iklim di negeri Hindia Belanda.
"Bisa jadi rancangan mereka bagus, tapi belum tentu adaptif dengan kondisi alam di Hindia Belanda", kata walikota Meijroos.
Ketiga, depresi ekonomi. Memasuki tahun 1922 terjadi depresi ekonomi. Barang barang termasuk materialan bangunan, harganya melambungkan. Ini sempat menyebabkan lambatnya rencana pembangunan.
Keempat, Proyek Perbaikan Kampong. Di saat yang sama ketika keinginan membangun Balai Kota bertabrakan dengan masalah kondisi kampung yang tidak bagus. Adalah salah satu anggota Dewan pribumi, Sudirman, yang mengusulkan agar mendahulukan kepentingan warga dengan memperbaiki kampung kampung. Ia menyarankan agar ada pengalihan peruntukan anggraan dari untuk pembangunan Balai Kota ke perbaikan sanitasi kampung. Menurutnya apalah artinya memiliki Kantor pemerintah yang besar dan indah, tapi kondisi perumahan dan lingkungan kampung jelek dan tidak sehat.
Setelah melalui proses yang panjang akhirnya pembangunan Balai Kota bisa dimulai pada 1925 dan selesai pada 1927. Peresmian dilakukan pada 1927 oleh walikota Surabaya ketiga, J.M. Easchbach (1926-1934). Sebelum menjadi walikota, Easchback duduk di Dewan Kota. Dialah walikota pertama yang berkantor di Balai Kota Ketabang. (nng/pul)
Pulung Ciptoaji
18.12.22
Invited Colonialism, Penjajahan yang (sengaja) Diundang
Abad.id - Ketika VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) persekutuan dagang belanda untuk memonopoli perdagangan dibentuk pada tahun 1602, belum ada bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Yang ada hanyalah kerajaan-kerajaan di wilayah cikal bakal Indonesia. Begitu masuk ke wilayah Nusantara, VOC membuat perjanjian dan kerjasama dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara ini. Dahulu Amangkurat I terguling oleh pemberontakan Trunojoyo dari Madura. Karena kalah dari Trunojoyo, Amangkurat I terpaksa pergi mengungsi ke barat, ke wilayah Tegal hingga kemudian beliau meninggal disana.
Makam Amangkurat I – Makam raja Mataram Amangkurat I yang meninggal tanggal 12 Juli 1677 di Tegalwangi, Tegal
Penerus Amangkurat I kemudian meminta bantuan VOC. Adalah Adipati Anom, penerus Raja Amangkurat I, raja pertama yang dipilih dan dilantik Belanda. Dan tentu tidak ada makan siang gratis. Permintaan bantuan pada VOC itu meminta sejumlah imbalan sebagai timbal baliknya jika berhasil mengembalikan kerajaan.
Akhirnya berkat bantuan VOC, Trunojoyo diundang ke acara Tayuban yakni pesta rakyat yang melibatkan sejumlah penari (ledhek) dan berhasil ditangkap disana serta dihukum penggal kepala. Selain itu raja penerus Amangkurat I juga memberikan konsesi dagang hingga memberikan wilayah pesisir Jawa.
Meminta bantuan VOC dilakukan juga oleh Raja Pakubuwono II, raja Mataram kesembilan yang memerintah tahun 1726–1742 dan menjadi raja pertama Surakarta yang memerintah tahun 1745–1749, setelah pemberontakan Amangkurat V. Ia juga merupakan kakak dari Pangeran Mangkubumi (kemudian bergelar Hamengkubuwana I) dan paman dari Pangeran Sambernyawa (kemudian bergelar Mangkunagara I). Saat terjadi pemberontakan Amangkurat V (Sunan Kuning/Raden Mas Garendi) yang melibatkan kaum Tionghoa dalam Geger Pecinan (1740), Pakubuwono II sempat kehilangan tahtanya, ia melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur dan meminta bantuan VOC agar tahtanya di Mataram dikembalikan. Jika VOC berhasil mengembalikan tahtanya, maka wilayah Jawa Timur termasuk Surabaya dan Madura Barat.
Hal yang sama terjadi juga di Makassar, ada pertikaian Aru Palaka versus Raja Bugis. Di Ternate dan Tidore, juga di kerajaan Blambangan Banyuwangi, yang pernah dijajah Bali. Jadi konflik politik internal dengan sesama anak bangsa itu akhirnya mengundang keterlibatan asing (VOC) untuk melakukan intervensi.
Karena VOC adalah perusahaan dagang profesional skala dunia, maka VOC tidak mau jika hanya diberi janji sekedar ucapan. Janji itu haruslah tertulis hitam diatas putih. Sejak 1602 hingga 200 tahun setelahnya, VOC selalu menggunakan perjanjian hitam diatas putih. Semua arsip perjanjian konsesi dagang dengan kerajaan-kerajaan Nusantara itu didapat dengan cara yang legal, bertanda tangan. Semua perjanjian VOC itu dibukukan hingga 7 seri dan sekarang masih disimpan di Arsip Nasional dan Belanda.
Jadi, apa yang terjadi di Indonesia selama 350 tahun itu bisa diistilahkan sebagai 'Invited Colonialism', penjajahan yang sengaja diundang dan dipersilakan. Karena sering dimintai tolong menumpas rival-rival kerajaan, membuat VOC akhirnya memiliki banyak sekali aset dan konsesi dagang yang signifikan di Nusantara.
Kepentingan VOC adalah berdagang, mencari rempah-rempah dan hasil alam, dagang kan tujuannya untung. Jika perang terjadi terus-terusan secara berlebihan, dikhawatirkan tak akan ada lagi yang menanam rempah-rempah dan hasil alam. Maka untuk menciptakan keadaan damai, atas campur tangan VOC, kerajaan yang diperebutkan akhirnya dibagi-bagi pada pihak yang berkonflik agar terjadi win-win solution untuk meredam konflik internal. Kerajaan yang dibagi itu salah satunya adalah kerajaan Mataram, yang dibagi antara Hamengkubuwono, Pakubuwono dan Mangkunegaran.
Melalui cara transaksi perdagangan, VOC melakukan transaksi individual dengan raja dan sultan di Nusantara pada awalnya. Tetapi kemudian menjadi berambisi untuk menguasai karena kerajaan-kerajaan itu mudah dihasut dan diadu domba jika menyangkut tahta dan kekuasaan.
Pada abad ke-16 itu ratusan kerajaan di Nusantara sudah tidak lagi terikat dalam satu payung. Di Jawa pun sejak awal abad ke-16 terjadi penggempuran oleh Demak terhadap kerajaan yang berbasis pribumi. Ketika Mataram Panembahan Senopati bangkit, Kalimantan hingga pulau-pulau yang ada di timurnya dan timur Jawa berhasil disatukan. Panembahan Agung Hanyakrakusuma lalu melakukan penyerangan terhadap VOC di Batavia pada 1628 dan 1629 meski gagal. Kegagalan ini yang membuat VOC akhirnya bisa menguasai Nusantara secara keseluruhan.
Dengan bangunan kedatuan, kerajaan, dan kesultanan yang sudah dipecah-belah oleh penjajah yang awalnya menggunakan taktik dagang, membuat ajaran yang selama ini menjadi landasan hidup manusia di Nusantara hancur berantakan. Pada mulanya sejarah mencatat sejak awal Masehi tak ada pertikaian antara sub-etnik di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Nusa Tenggara. Demikian juga tidak terjadi pertikaian antar sub-etnik di pulau-pulau tersebut.
Dengan undangan permintaan bantuan untuk terlibat dalam konflik internal kerajaan-kerajaan itu, pihak penjajah melakukan adudomba dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah diajarkan dalam lontar-lontar kuno. Penjajah menyusup ke kedatuan, kerajaan, dan kesultanan, dan mulai memasukkan nilai-nilai yang menguntungkan penjajah, serta melakukan upaya agar nilai-nilai asal (lokal) dilupakan dengan sejumlah pengkaburan sejarah.
Akar nilai-nilai Pancasila selayaknya disaripatikan dari nilai-nilai yang ada pada lontar-lontar kuno yang berserakan di negeri ini. Kemudian barulah bagian yang bersifat norma dan persepsi yang melahirkan perilaku bisa diakulturasikan dan diasimilasikan dengan nilai-nilai yang berasal dari manca (luar). Inilah yang dinamakan sebagai dinamika budaya. Jika kita langsung menerima budaya manca dan melupakan nilai-nilai yang ada pada budaya sendiri, maka cepat atau lambat bangsa ini akan tercerabut dari asalnya, dan akhirnya tidak lagi mengenal jati dirinya.
Suatu bangsa yang telah meninggalkan budaya asalnya mustahil akan bisa bangkit lagi di dunia, karena akar yang menjadi penyebab hidupnya suatu bangsa itu telah mengering dan mati. Ajaran manca hanya bisa diakulturasikan atau diasimilasikan dengan lapisan tengah.
Kisah sejarah begini sayangnya tak pernah dimunculkan dalam buku-buku sejarah kita. Bahwa sejarah pernah mencatat tentang kebiasaan larut dalam konflik politik internal, seneng tawuran dan rebut bener di kalangan sendiri hingga melupakan ajaran-ajaran luhur yang ada di lontar-lontar kuno. Konflik-konflik internal ini yang pada waktunya mengundang intervensi asing. Pola yang sama itu kini sedang terjadi, diulang-ulang terus sepanjang jaman.
Saat Indonesia memasuki krisis ekonomi, pemerintah meminta bantuan Bank Dunia, IMF untuk meminta talangan dana, saat krisis kesehatan aka pandemi meminta campur tangan China juga, demikian juga dengan pembangunan IKN, kereta api cepat dan segenap infrastruktur gila-gilaan karena ambisi oligarki dan presiden, semuanya melibatkan pihak asing sebagai investor yang pada gilirannya menggerus kedaulatan kita. Cara-cara VOC dimasalalu kini diimitasi oleh China untuk menguasai Indonesia.
Jadi kapan nyadarnya untuk berpikir sebagai bangsa yang mandiri dan berdaulat??
Yang didoktrinkan dalam buku-buku sejarah adalah selalu playing victim, merasa sebagai bangsa yang menderita akibat 350 tahun dijajah. Tidak pernah sekalipun memberikan gambaran tentang konflik internal maupun pergulatan ideologi yang terus terjadi. Tidak pernah mengajak segenap anak bangsa untuk melakukan introspeksi. Senengnya menempatkan diri hanya sebagai obyek penderita dari segenap masalah bangsa yang hingga kini tak jelas jalan keluarnya. Menempatkan diri sebagai obyek sama artinya membiarkan orang lain menendang pantat kita. Tidak mengherankan jika sampai saat ini pemimpin di negeri masih saja serupa boneka yang mudah dikendaikan oleh pihak asing, diplokotho, karena mentalitas kita yang tak kunjung sadar untuk menjadi subyek dari situasi apapun. Takut pada kejujuran dan senang pada kebohongan maupun dibohongi, hingga jika melakukan kesalahan bukan lantas menyalahkan diri sendiri, namun cenderung mencari kambing hitam. Segala cara dilakukan demi mencapai tujuan. Kemaruk kekuasaan alias keserakahanlah yang menyebabkan permusuhan sesodara sebangsa.
Kelemahan yang tidak pernah disadari ini menjadikan bangsa ini mengulang-ngulang kesalahan sejarah yang sama. Meskipun sudah ada pengingat bahwa crah agawe bubrah, rukun agawe sentosa; pertengkaran membuat kerusakan, persatuan(kerukunan) membuat bangsa kuat, tapi tetap saja seneng gontok-gontokan, bertukar maki dan saling bully antar kubu dengan sebutan kadrun dan cebong entah sampai kapan berakhirnya.(mda)
Penulis : Malika D. Ana
*Refeferensi : Ricklefs, Merle Calvin (20 September 2021). "Islam and the Reign of Pakubuwana II, 1726–49". Islam:Essays on Scripture, Thought and Society. 28: 237–252.
Author Abad
03.12.22
Ada sebuah rencana besar, yang digagas oleh sekelompok pecinta warisan budaya lintas negara. Adalah Time Amsterdam, Urban Discovery Asia dan Konsorsium Kota Tua Jakarta. Mereka menggagas sebuah proyek BerlagediNusantara. Yaitu sebuah kegiatan bersama antar pecinta warisan budaya, yang merasa bahwa "Mijn Indiesche Reis", sebuah jurnal perjalanan seorang arsitek terkenal Hendrik Petrus Berlage pada 1923, yang dibukukan pada 1931.
Buku berjudul "Mijn Indiesche Reis" (Perjalanan Hindia Belanda Ku) oleh arsitek HP Berlage ini berisi gabungan pengalaman, pengamatan, pemikirannya, juga sketsa dan bahkan puisinya. Dalam tulisan personil iniini, selain perjalanan fisiknya, ia juga menuliskan perjalanan spiritual yang ia alami.
Jurnal ini diisi dengan pengamatan, kritik, dan pemikiran filosofis mendalam tentang arsitektur dan masyarakat, termasuk pemerintahan kolonial Belanda saat itu. Jurnal ini cukup moderen. Apa yang ditulis Berlage pada 1923 masih relevan hingga saat ini, era abad 21. Tahun depan 2023, perjalanan Berlage ke Hindia Belanda genap 100 tahun.
Dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage ke Hindia Belanda (Indonesia), para pecinta warisan budaya lintas negara, yang tergabung dalam proyek BerlagediNusantara, perlu menyajikan isi buku Mijn Indiesche Reis dalam bentuk kekinian di era moderen ini. Tujuannya adalah agar isi pemikiran menarik Berlage dapat dijangkau secara luas dan menjadi sebuah bacaan yang menarik dan kontribusi berharga dalam diskusi tentang warisan bersamabersama, arsitektur dekolonisasi, identitas budaya, dan keberagaman di Indonesia dan Belanda.
Pengalaman HP Berlage pada 1923 adalah mimpi perjalanannya ke Indonesia. Untuk mewujudkan mimpi itu, ia harus menaiki kapal uap ke Hindia Belanda. Ia mulai menyaksikan Surga Nusantara pada 28 Februari 1923. Ia menghabiskan waktu selama 3 bulan di Tanah Surga ini. Grup musik legendaris, Koes Ploes, dalam lagunya menggambarkan Tanah Surya ini begitu suburnya sehingga "tongkat kayu dan batu bisa menjadi tanaman".
Selama tiga bulan itu Berlage berkunjung ke Padang (Sumatra), Batavia, Bogor, Bandung, Jogjakarta, Solo, Semarang, Blitar, Surabaya dan Bali. Banyak pengalaman yang dapat diperoleh Berlage sehingga merubah hidupnya. Ketika ia kembali ke negaranya, ia bagai terlahir kembali di muka bumi. Ia menjadi orang yang baru. Ia terlalu terpesona dan telah jatuh cinta dengan negeri yang tidak akan ia lihat kembali. Ia seolah merasa bingung di negerinya sendiri.
Negeri Nusantara telah menyulap Berlage terlahir kembali. Ini semua karena pengalaman perjalanannya yang tidak hanya pengalaman fisik, tapi juga pengalaman spiritual yang luar biasa.
Dari sketsa sketsa yang ia buat selama dalam perjalanan, semua menunjukkan potret kebudayaan Nusantara yang total berbeda dari kebudayaan di negerinya (Belanda). Ia menggambar candi candi, rumah rumah adat dan keadaan lingkungan perkampungan. Salah satunya adalah perkampungan di Surabaya. Ia menggambar kampung Arab, kampung Pecinan dan dermaga kali yang menjadi sentra perdagangan. Hanya ada tiga sketsa tentang kota Surabaya.
Gedung Algemeene "Singa" maatschappij.
Antara Gedung Singa dan HP Berlage adalah tentang waktu. Gedung Singa, yang nama formalnya adalah De Algemmene Maastchappij
van Levensverzekering en Lijfrente te Amsterdam atau Perusahaan Umum Asuransi Jiwa dan Tunjangan Hidup Amsterdam yang diarsiteki oleh HP Berlage, dibangun tahun 1901. Sementara Berlage sendiri datang di Surabaya pada Mei 1923.
Ketika Gedung Berlage dibangun di jalan Jembatan Merah Surabaya pada 1901, Berlage memang tidak berada di Surabaya. Ia ada di Belanda.
Gedung ini menjadi monumental karena terhitung gedung paling moderen di Surabaya ketika memasuki abad 20. Gedung ini tampil beda di lingkungannya. Tidak hanya tampil beda dalam design arsitektur, ia juga berani mengusung makna filosofi, seni dan budaya. Pewarnaan pada Gedung tidak monokrom sebagaimana umumnya, tetapi sudah berani hadir dengan warna terakota, biru, ungu dan kuning seperti tampak pada mosaik keramik lukis. Termasuk menghadirkan kolaborasi antara arsitek (HP Berlage), seniman patung (Joseph Mendes Da Costa) dan seniman lukis porcelen (Jan Toorop).
Karena Gedung Singa menjadi karya masterpiece Berlage yang paling indah di Hindia Belanda (Indonesia), maka selayaknya Surabaya ambil peran dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage di Hindia Belanda, khususnya Surabaya.
Karya Berlage di Surabaya bisa menjadi jembatan untuk lebih mempererat hubungan bilateral antara Indonesia dan Belanda karena disana ada nilai bersama (sejarah, seni dan budaya).
Selain buku "Mijn Indiesche Reis", juga ada Gedung Singa sebagai karya nyata Berlage di Surabaya. Di dalam buku catatan harian itu ada sketsa sketsa kampung Ernis Surabaya: Kampung Arab, Kampung Pecinan dan demaga kali dengan aktivitas perahu. Karenanya dalam peringatan 100 tahun perjalanan Berlage di Surabaya, Gedung Berlage bisa menjadi jujugan dan bahkan sebagai venue untuk merayakannya.
Apa kata mereka tentang Peringatan 100 tahun?
Seorang arsitek dan Wakil Rektor II, Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Dr. Ir. R.A. Retno Hastijanti, MT. mengatakan bahwa sebagai seorang arsitek, tentu ini menjadi momen penting untuk menggali dan memahami perkembangan arsitektur di Indonesia.
"Ini juga membuat Indonesia ada di peta dunia dalam konteks arsitektur, karena ternyata di Indonesia tersimpan banyak bentukan arsitektur yan berskala dunia dan ikonik. Karya HP Berlage adalah salah satu diantaranya", tambah Hasti yang juga sebagai Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Surabaya.
Sebagai seorang pemerhati cagar budaya dan warga surabaya, bagi Hasti ini menjadi momen penting untuk merenungkan bahwa orang luar negeri saja sangat perhatian pada karya karya arsitektur yang menjadi salah satu cagar budaya kota Surabaya.
"Lantas bagaimana dengan kita, "pemilik" dari Cagar Budaya tersebut? Saya berharap, momen Ini akan memotivasi para "pemilik" CB untuk bisa lebih merawat dan menjaga kelestarian CB tersebut dengan strategi strategi yang sesuai", tambahnya.
Sementara seorang dokter pengagum HP Berlage, Winanda Denis Kurniawan, memandang bahwa peringatan 100 tahun kehadiran Berlage di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) adalah sebagai apresiasi kepada seorang arsitek yang berhasil menorehkan namanya sebagai seorang pembaharu.
"Tidak peduli latar belakang kita dari bangsa mana, kita menghargai seorang pribadi dan sebuah karya manusia, yang akan terus dihargai dan dipelajari di masa mendatang", kata dokter yang akrab dipanggil Denis.
Denis melanjutkan bahwa peringatan itu bisa dipandang sebagai upaya bersama dalam i proses rekonsiliasi sejarah dua bangsa, yang saling terjalin sejak abad 17.
"ini adalah jembatan dua bangsa yang membawa banyak pelajaran untuk keduanya. Berlage meninggalkan suatu karya reformis di kala itu, yang sangat berbeda dengan arsitektur bangunan di sekitarnya kala itu. Beliau juga meninggalkan catatan field observation mengenai berbagai facet kebudayaan bumiputera. Semua itu adalah warisan yang bisa dipelajari masyarakat kedua negara", jelas Denis.
Selain itu Denis juga memandang ini adalah kesempatan unik yang bisa membuka potensi-potensi lain yang bahkan jauh di luar ranah arsitektur. Ada beberapa potensi dari aspek diplomatis, politik cagar budaya, dan ekonomi yang bisa dimanfaatkan dari peringatan 100 tahun perjalanan Berlage ke Indonesia.
Ir. Andy Mappajaya, MT., dosen arsitektur ITS melihat bahwa peringatan 100 tahun Berlage di Surabaya ini menjadi momen penting untuk bersama sama mempedulikan karyanya di Surabaya yang tidak terurus.
"Tinggalan Berlage di Surabaya sangat penting namun tidak terangani dan tersentuh pihak Pemerintah Kota Surabaya dan pemiliknya sendiri. Monggo sareng sareng (red: Mari bersama sama) iinisiasi bagaimana melestarikannyai", pungkas Andy yang sangat memperhatikan peninggalan cagar budaya kota Surabaya.
Sementara itu direktur Sjarikat Poesaka Soerabaia - Surabaya Heritage Society (SPS - SHS), Ir. Freddy H. Istanto mengatakan bahwa warga Belanda saja sangat menghargai karya karya seniman besarnya dengan cara melakukan selebrasi secara Nasional (di Belanda saja), bahkan selebrasi tingkat global (peringatan 100 tahun karya berlage di Indonesia).
"Kita sebagai warga Surabaya yang menyimpan karya besar itu, Gedung Singa, tentu harus merasa berbangga", kata Freddy.
Ia menambahkan bahwa karya karya Berlage di Indonesia (Jakarta dan Surabaya) memperkaya khazanah arsitektur Nusantara. Karya rancang bangun yang memadukan budaya barat dan Timur yang selaras dengan arsitektur tropis. Karya Berlage yang ber konsep *unity in plurality* pas dengan semangat kebangsaan Indonesia. (Nanang)
Author Abad
27.11.22
Mengasumsikan Demokrasi di Indonesia
Abad.id - Demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Awalnya, tujuan demokrasi itu bagus berangkat dari pemikiran Vox Populi Vox Dei atau dalam bahasa nasional artinya Suara Rakyat Suara Tuhan. Dalam praktiknya, tidak selalu seindah angan-angan, pada kenyataannya justru rakyat lah yang "harus" mengikuti sang penguasa yang seolah-olah melebihi dari arti Tuhan.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan kebijakan.
Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama. Konsep demokrasi lahir dari Yunani kuno yang dipraktikkan dalam hidup bernegara.
Demokrasi yang dipraktikkan pada waktu itu adalah demokrasi langsung (direct democracy), artinya hak rakyat untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh rakyat atau warga negara.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki(gerombolan).
Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Teori sih ideal...praktiknya, ASUdahlah!
Dan demokrasi di Indonesia nampaknya hanya dilihat secara arti dari demos dan kratosnya (pemerintahan dari rakyat), bukan pada nilai-nilai implementatif pada sektor kebutuhan masyarakat atas makna demokrasi itu sendiri.
Karena jika ditafsir beneran, jadi berdiksi "Demokrasi Wani Piro."
Ini terjadi karena high cost politik atau tingginya biaya politik masih menyuburkan praktek paternalistik antara politisi dengan pengusaha. Itu tak bisa dipungkiri. Bagaimana tidak, untuk menjadi pejabat publik disini memerlukan ongkos politik yang tidak bisa dibilang sedikit. Kalah menang tetep berbiaya mahal.
Flash back saja, karena Indonesia pernah mengalami beberapa bentuk demokrasi. Pertama, demokrasi terpimpin di Orde Lama, wasitnya tunggal. Pemimpin besar revolusi yang tidak pernah dipilih langsung dalam pemilu. Disebut juga sebagai Demokrasi Terpimpin. Lalu dalam masa Orde Baru, kita menjalankan demokrasi seolah-olah alias pseudo demokrasi yang sering kita kenal sebagai Demokrasi Pancasila yang pada praktiknya menggunakan DPR dan MPR (hanya) menjadi stempel kekuasan presiden. Dan dua-duanya adalah pengalaman buruk dimasa lalu.
Dimasa reformasi ini, secara formal dan praktik kita memang lebih baik. Presiden dipilih langsung. Tapi kita mafhum bahwa pemilu ataupun pilkada lebih banyak dimenangkan oleh uang. Artinya, pemilik modal (cukong) akan lebih menentukan hasil pemilu. Itu faktanya...
Saat ini mungkin kita sangat jengkel pada presiden terpilih yang ditetapkan pengumumannya tengah malam disaat orang-orang tidur. Tapi masalahnya bukan sekadar pada presiden. Pemerintahan bisa saja berganti-ganti setiap pemilu. Tapi jika uang yang punya kuasa dalam demokrasi, rusaklah esensi demokrasi itu sendiri, karena yang didengar adalah aspirasi para cukong, bukan aspirasi rakyat Indonesia.
Jika uang yang menang, jadi dimana nilai lebih baiknya?
Sudah gitu hasilnya asal jadi ajah, asal populer, wong parpol itu organisasi miskin aktor, sifat dan tabiatnya berkhianat; mengajak orang ikut bela, ikut milih, persis seperti makelar di terminal yang teriak-teriak Yogya...Yogya...tapi gak ikutan berangkat ke Yogya. Lalu, saat menang, kelangsungan hidup parpol-lah pihak pertama yang kudu dipikirkan. Rakyat? AKURAMIKIR....rakyat yang memilih pun dikhianati, dan dilacurkan amanahnya. Begini masih percaya bahwa pemerintahan (dari tingkat lurah/kades, camat, bupati/walikota, gubernur, hingga presiden) akan mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri, kelompok dan cukong ?
Maafkan saya karena termasuk orang yang skeptis melihat kekuasaan digunakan untuk kebaikan rakyat. Bagi saya, kekuasaan punya motivasi yang jelas yaitu uang, dan sebaliknya; hanya dengan uang seseorang benar-benar bisa berkuasa.
Karena demokrasi liberal selalu memunculkan aktor yang tidak punya narasi, visi misi yang jelas, gak ada konteks dan tujuan ideal kecuali hanya retorika alias OMDO, alias nggedabrus. Ya gitu deh jika demokrasinya demokrasi JUDI, demokrasi WANI PIRO... Makanya, karena tujuan itu antara politisi dan cukong bersimbiosis agar saling menguntungkan. Saat menang dan berkuasa, yang terpikir pertama kalinya adalah mengembalikan sejumlah modal dan hutang budi tersebut, dan akhirnya korupsi.
Jadi, orang-orang itu masuk politik buat apa sih sebenarnya? Jika kepentingan rakyat kecil bukan jantung dari perjuangan, mending bikin klub dansa aja deh, ngabis-ngabisin APBN saja. Rakyat yang disuruh bayar tapi bikin partai yang dipikirin gimana caranya menyelamatkan cash flow dirinya dan gerombolannya.
Seharusnya, saat kekuasaan diperebutkan dan dimenangkan, maka martabat manusia yang harus lebih didahulukan. Artinya kita bicara tentang mengentaskan kemiskinan, bicara pendidikan dan kesehatan murah dan memberi perlindungan, memajukan kesejahteraan umum, harkat serta martabat manusia yang didahulukan.
Pada titik ini saya berharap kita sadar sepenuhnya, bahwa ada yang keliru dalam sistem pemilu kita. Sudah saatnya untuk kembali pada tatanan adiluhung bangsa Indonesia yakni MUSYAWARAH dan MUFAKAT.
Jika pun terpaksa (yang terburuk); memilih tetap berdemokrasi, misal tak bisa lagi kembali ke musyawarah dan mufakat, setidaknya perlu revisi sistem pemilu sesegera mungkin. Sistem proporsional terbuka selama ini membuat yang terpilih tidak berakar di konstituennya. Harus segera diubah jadi sistem distrik. Sungguhpun berasal dari partai, dia adalah wakil distriknya.
Dampaknya, agar tak ada politikus karbitan yang didrop dari pusat. Tidak bisa semau-maunya pindah dapil dengan mengandalkan suara partai. Politikus harus membangun reputasi pribadi. Jadi orang akan tahu siapa dia dan pemikirannya.
Tapi diatas semuanya, sesungguhnya demokrasi model apapun yang dipilih dan sistem pemilunya, apakah proporsional terbuka atau proporsional tertutup (model Orba) atau sistem distrik, TIDAK AKAN menyelesaikan persoalan pemerintahan selama sistem ketatanegaraan dalam UUD 45 amandemen tidak dibenahi dulu.(mda)
Penulis : Malika D. Ana